PEUMULIA JAME ADAT GEUTANYO...RELA BERBAGI, IKHLAS MEMBERI...PEUMULIA JAME ADAT GEUTANYO...RELA BERBAGI, IKHLAS MEMBERI...PEUMULIA JAME ADAT GEUTANYO...RELA BERBAGI, IKHLAS MEMBERI...

Senin, 21 Maret 2011

METODOLGI ANALISIS PENAFSIRAN IBNU KATSIR. BY : “ACH.ZAYYADI.”

  I.      MUQADIMAH.
         Alhamdulillah segala puji syukur kita panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi, yang mana berkat limpahan Rahman-Rahim-Nya lah kita masih masih bisa merasakan bahwa betapa besarnya kasih sayang Allah yang mana pada saat ini kita masih diberi nikmat oleh Allah, baik nikmat rizki, kesehatan, maupun nikmat iman dan islam.Dalam keadaan seperti sekarang ini, dimana zaman yang banyak umat-umat-Nya yang telah mengingkari adanya nikmat yang diberikan oleh Allah SWT, Yang lebih teragis lagi orang-orang banyak yang menyekutukan Allah dengan makhluk yang lain, Na'udzubillahi min dzalik.Namun Allah masih memberikan nikmat kepada mereka, sungguh mereka tak lain adalah orang-orang yang kufur terhadap nikmat Allah.
         Shalawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan keharibaan sang baginda Nabi Muhammad SAW, yang mana berkat jasa beliau kita bisa terangkis dari alam jahiliyah menuju alam yang penuh dengan ilmu.Beliau tak pernah lelah memperjuangkan agama Allah dan mengusung panji-panji dakwah demi menegakkan Lii'lai Kalimatillah, dan demi kesejahteraan umat-umat sesudah beliau hingga hari penghabisan, yakni yaumil qiyamat.  

1.  LATAR BELAKANG.
            Secara garis besar, para ulama membagi kepada empat jenis tafsir. Pertama, tafsir tahlîlî, kedua, tafsir ijmâlî. Ketiga, tafsir muqârin. Keempat, tafsir mawdlu’î. Husus untuk jenis tafsir yang pertama, ada beberapa macam yang tercakup di dalamnya. Seperti, tafsir bil ma`tsûr, tafsir bi al-ra`yi, tafsir al-shufi, tafsir alfiqh, tafsir al-falsafi, tafsir al-’ilm, dan al-adabi al-ijtima’i. Pembagian ini sebagaimana yang dituturkan prof. dr. abdul hay al-farmâwî, dalam bukunya ‘muqadimah fî ‘ilmi al-tafsîr’.
Dari sekian banyak jenis tafsir, tentu berbeda pula metode dalam penafsiran dan penyusunan karyanya. Hampir semua pengarang Tafsir tahlili, banyak dilakukan oleh para mufasir klasik. Begitu juga untuk jenis ke dua dan ketiga. Sementara untuk jenis yang terakhir, metode tafsir ini baru dilakukan sekitar abad 20-an.
Diantara para pengarang tafsir jenis pertama ialah Imam al-Hafizh Ibnu katsir al-Qursyi al-Damsyiqi. Ia adalah seorang mufassir yang menggunakan metode tafsir tahlili bi al-ma`tsur.Yang dimaksud dengan tafsir bil-ma’tsur ialah tafsir yang menggunakan Al-Qur’an  menafsirkan ayat bil-ayat, riwayat yang shahih, perkataan shahabah, karena merekalah yang mengetahui Kitabullah, atau dengan pendapat tokoh-tokoh besar tabi'ien.



2.  RUMUSAN MASALAH.
Para Ulama tafsir cenderung membangun pemahaman tafsirnya berdasarkan kepada “manqul” (kutipan berdasarkan narasumber Rasulullah SAW, sahabat, dan tabi’in).Atau “ma’qul” (analisis secara tekstual dan untekstual).Penafsiran membutuhkan ketelitian dan keahlian seorang mufasir dalam memindahkan dan memahami ayat-ayat serta menjelaskannya sumber-sumber wawasan Islamnya.Oleh karena itu, para ulama tafsir di periode awal membagi tafsir menjadi dua kelompok yang masing-masing memiliki kecenderungan dan orientasi tertentu.
Menurut para ulama tafsir metodologi yang terbaik menafsirkan Al-qur’an adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an itu sendiri, maka jikalau tidak ditemukan didalamnya (Al-Qur’an), maka rujuklah ke dalam hadits atau sunnah Rasulullah SAW.Dalam suatu riwayat mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya diiberikan padamu Al-Qur’an dan suatu yang serupa dengannya, yaitu sunnah” (HR.Abu Daud).
Metodologi tafsir seperti ini disebut metode “bil ma’tsur”, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an lainnya, atau dengan hadits, atau pendapat sahabat Rasulullah dan tabi’ien.[1]
Pada pembahasan kali ini saya akan mencoba bagaimana seorang Ibnu Katsir menafsirkan Al-Qur’an terkait dengan masalah adanya bermacam-macam pendekatan penafsiran yang dilakukan oleh kalangan ulama’ terdahulu, dan mencoba untuk mengetahui lebih jauh mengenai sosok Ibnu katsir dan metode tafsirnya. Supaya tidak terlalu melebar, saya akan mencoba membatasi pembahasan ini dalam beberapa point. Pertama, tentang biografi dan perjalanan hidup beliau dalam mencari ilmu, dengan sedikit menyinggung tentang latar belakang keluarga beliau. Kedua, Pembahasan ini mencakup tentang metode yang ia lakukan, referensi serta keistimewaan dalam tafsirnya, dan mengapa Ibnu Katsir menggunakan penafsiran dengan bil-ma’tsur.


II.      PROVIL MUFASIR.
Nama lengkap Ibnu Katsir ialah, Abul Fidâ` ‘Imaduddin Isma’il bin Syeikh Abi Hafash Syihabuddin Umar bin Katsir bin Dla`i Ibnu Katsir bin Zarâ` al-Qursyi al-Damsyiqi. Ia di lahirkan di kampung Mijdal, daerah Bashra sebelah timur kota Damaskus  pada tahun 700 H.Ayahnya berasal dari Bashra, sementara ibunya berasal dari Mijdal. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Hafsh Umar ibnu Katsir. Ia adalah ulama yang faqih serta berpengaruh di daerahnya. Ia juga terkenal dengan ahli ceramah. Hal ini sebagaimana di ungkapkan Ibnu Katsir dalam kitab tarikhnya (al-Bidâyah wa al-Nihâyah). Ayahnya lahir sekitar tahun 640 H, dan ia wafat pada bulan Jumadil ‘Ula 703 H. di daerah Mijdal, dan dikuburkan di sana.[2]
      Ibnu Katsir adalah seorang pemikir dan ulama Muslim. Beliau lahir pada tahun 1301 di Busra, Suriah dan wafat pada tahun 1372 di Damaskus, Suriah. Tercatat, guru pertamanya adalah Burhanuddin al-Fazari, seorang ulama penganut mazhab Syafi'i. Ia berguru kepada Ibnu Taymiyyah di Damaskus, Suriah dan kepada Ibnu al-Qayyim. Ibnu Katsir menulis tafsir Qur'an yang terkenal yang bernama Tafsir Ibnu Katsir. Hingga kini, tafsir ini merupakan yang paling sering digunakan dalam dunia Islam.[3]
              Sebagian pendapat yang lain mengatakan bahwa Nama lengkap ibnu katsir ialah, Isma’il bin Umar bin Katsir bin Dhau bin Dhar’in yang kemudian dipanggil “Abu al-Fida” dan beliau dijuluki dengan “Imaduddin” yang berarti tiang agama, yang sampai sekarang ini beliau terpanggil dengan sebutan “Al-Hafidh Ibnu Katsitr”.[4] Beliau terlahir di desa Mujadal Negeri Syam tahun.701 H.Guru-guru beliau adalah
  1. Imam Ibnu Asakir.
  2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
  3. Imam Al-Miziy.
  4. Imam Al-fazari.
Dia termasuk seorang pakar dalam bidang fikih, tafsir, nahwu, sejarah, hadits, dan ilmu rijal hadits.Dalam kesibukannya dia selain sebagai seorang mufti yang sangat diakui keilmuannya oleh ulama pada waktu itu, dia juga seorang pengajar.[5] 
Ibnu Katsir adalah anak yang paling kecil di keluarganya. Hal ini sebagaimana yang ia utarakan; anak yang paling besar di keluarganya laki-laki, yang bernama Isma’il, sedangkan yang paling kecil adalah saya. Kakak laki-laki yang paling besar bernama Ismail dan yang paling kecilpun Ismail.
            Sosok ayah memang sangat berpengaruh dalam keluarga. Kebesaran serta tauladan ayahnyalah pribadi Ibnu Katsir mampu menandingi kebesaran ayahnya, bahkan melebihi keluasan ilmu ayahnya. Dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, serta senantiasa menjunjung nilai-nilai keilmuan, mampu melahirkan sosok anak saleh dan bersemangat dalam mencari mutiara-mutiara ilmu yang berharga dimanapun. Dengan modal usaha dan kerja keras Ibnu Katsir menjadi sosok ulama yang diperhitungkan dalam percaturan keilmuan.
            Ibnu Katsir mulai sedari kecil mencari ilmu. Semenjak ayahnya wafat -kala itu Ibnu Katsir baru berumur tiga tahun-, selanjutnya kakaknya bernama Abdul Wahab yang mendidik dan mengayomi Ibnu Katsir kecil. Dan genap usia sebelas tahun, Ia selesai menghafalkan al-Qur`an.
            Pada tahun 707 H, Ibnu Katsir pindah ke Damaskus. Ia belajar kepada dua Grand Syeh Damaskus, yaitu Syeikh Burhanuddin Ibrahim Abdurrahman al-Fazzari (w. 729) -terkenal dengan Ibnu al-Farkah- tentang fiqh Syafi’i. lalu belajar ilmu ushul fiqh ibn Hâjib kepada syeh Kamaluddin bin Qodi Syuhbah. Lalu ia berguru kepada; Isa bin Muth’im, Syeikh Ahmad bin Abi Thalib al-Muammari (w. 730), Ibnu Asakir (w. 723), Ibnu Syairazi, Syeikh Syamsuddin al-Dzhabi (w. 748), Syeikh Abu Musa al-Qurafi, Abu al-Fatah al-Dabusi, Syeikh Ishaq bin al-Amadi (w. 725), Syeikh Muhammad bin Zurad. Ia juga sempat ber-mulajamah kepada Syeikh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mazi (w. 742), sampai ia mendapatkan pendamping hidupnya. Ia menikah dengan salah seorang putri Syeikh al-Mazi. Syeikh al-Mazi, adalah yang mengarang kitab “Tahdzîbu al-kamâl” dan “Athrâf-u al-kutub-i al-sittah“.
          Begitu pula, Ibnu Katsir berguru Shahih Muslim kepada Syeikh Nazmuddin bin al-Asqalani. Selain guru-guru yang telah dipaparkan di atas, masih ada beberapa guru yang mempunyai pengaruh besar terhadap Ibnu Katsir; mereka adalah Ibnu Taymiyyah. Banyak sekali sikap Ibnu Katsir yang terwarnai dengan Ibnu Taymiyah, baik itu dalam berfatwa, cara berpikir juga dalam metode karya-karyanya. Dan hanya sedikit sekali fatwa beliau yang berbeda dengan Ibnu Taymiyyah.

1.  PANDANGAN ULAMA TENTANG MUFASIR.

Ø  Sungguh suatu pengakuan yang jujur dan penghargaan yang tidak berlebihan kiranya ketika Imam Suyuthi (w.911), ulama berkebangsaan Mesir, Ia berkata, “al-Hafizh Ibnu Katsir adalah master dalam ilmu hadits, ia mengetahui hukum hadits, illat hadits, serta mata rantai rawinya. Begitu juga dalam al-jarh wa al-ta’dîl. Ia telah membuahkan karya yang sangat monumental sekali, dan tidak ada ulama yang mengarang seumpama itu”. Sungguh suatu pengakuan yang jujur dan penghargaan yang tidak berlebihan kiranya ketika seorang mufasir besar, Imam Suyuthi (w.911) berkata mengenai tafsir Ibnu Katsir, “lam yu-laf ‘alâ namthihi mitsluhu“. Setelah diteliti oleh muhaqqiq dalam bidang tafsir dan hadits, tafsir Ibnu katsir sangat ilmiah dan kaya dengan referensi yang sulit di dapat. Bahkan sekarang ada beberapa jenis referensi yang sudah tidak ada dan sangat sulit dicari. Betapa karya ini kaya dengan ilmu yang menyimpan mutiara-mutiara berharga, karena Ibnu Katsir menjadikan referensi karyanya yang diambil dari berbagai disiplin ilmu, Baik itu tafsir, ilmu tafsir, hadits, ilmu-ilmu hadits, lughah, sejarah, fiqh, ushul fiqh, bahkan geografi.

Ø  Al-Badar mengatakan, “Beliau adalah seorang ulama yang menjadi teladan bagi para ulama, Hufadz, serta para ahli bahasa.Dengan tekun beliau belajar bermacam-macam ilmu, menulis, dan melakukan kajian.Beliau mempunyai perhatian yang sangat besar dalam ilmu hadits, tafsir, dan sejarah.[6]

Ø  Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan, “Beliau sering mengundang banyak orang untuk mengkaji berbagai macam ilmu.Beliau juga seorang yang berjiwa humoris.Dalam karyanya telah menyebar ke seluruh penjuru dunia dan dimanfaatkan oleh banyak orang.[7]

Ø  Salah seorang muridnya dan sekaligus seorang sejarawan, Shahibuddin bin Hijji mengatakan, “Beliau adalah seorang yang mempunyai hafalan yang kuat dan yang palin bagus tentang masalah matan hadits dan yang paling mengetahui tentang keadaan para perawi tentang keshahihannya maupun kecacatannya (jarh) yang pernah kami kenal.Para sahabat dan guru-gurunya pun mengakui tentang hal itu.[8]

Ø  Imam Suyuthy dan Zarqoni menyanjung tafsir ini dengan berkomentar; Sesungguhnya belum ada ulama’ yang mengarang dalam metode seperti ini.[9]

Ø  Rasyid Ridha berkomentar, “Tafsir ini merupakan tafsir paling masyhur yang memberikan perhatian besar terhadap riwayat-riwayat dari mufasir salaf, menjelaskan makna-makna ayat dan hukumnya, menjauhi masalah yang berkaitan dengan I’rob dan cabang-cabang balaghah yang pada umumnya dibicarakan panjang lebar oleh kebanyakan mufasir, menghindar dari pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam memahami Al-Qur’an secara umum atau secara hukum dan nasehat-nasehatnya secara khusus.”[10]


III.      KARYA-KARYANYA.

Sosok ulama seperti Ibnu Katsir, memang jarang kita temui, ulama yang lintas kemampuan dalam disiplin ilmu. Spesialisasinya tidak hanya satu jenis ilmu saja. Selain itu, ia juga sangat produktif dalam karya, telah banyak karya-karya yang lahir dari tangan dan ketajaman berpikirnya. Di antara karya-karya beliau adalah :


1.  KARYA-KARYA KITABNYA.
v  Tafsîr al-Qur`an al-Azhîm“.
Kitab tafsir ini, sering dijadikan rujukan oleh setiap ulama. Metode analisisnya sangat tajam, yang membuat kekhasan tersendiri dalam tafsir ini. Para ulama mengkategorikan tafsir ini pada tafsir bil-ma`tsûr.

v  “Al-Bidâyah wa al-Nihâyah.
Buku ini membahas tentang sejarah. Buku ini sering dijadikan rujukan para peneliti sejarah. Sumbernya begitu autentik. Karyanya ini berisikan berbagai tinjauan sejarah. Pertama, pemaparan tentang sejarah dan kisah Nabi-nabi beserta umatnya di masa lalu. Kisah ini ditopang dengan dalil-dalil yang kuat, baik itu dari Al-Qur`an maupun Al-Sunnah, juga pendapat-pendapat para mufassir, muhaddits dan sejarawan. Kedua, Ia menguraikan secara jelas mengenai bangsa Arab jaman jahiliyah, kemudian bangsa Arab ketika kedatangan Nabi Saw dan perjalanan dakwah Nabi Saw beserta para sahabatnya. Buku ini di akhiri dengan kisah Dazzal, juga ia ungkapkan mengenai tanda-tanda kiamat lainnya.


v  “Al-Takmîl fî makrifati al-tsiqât wa al-dlu’afâ` wa- al majâhil.
Buku ini adalah rujukan dalam ilmu hadist serta untuk mengetahui jarh wa ta’dil. karya ini adalah karya gabungan dua karya Imam Dzahabi yaitu Tahdzîbu al-kamâl fî asmâ`i al rijâl dan Mîzân al i’tidâl fî naqdi al-rijâl dengan tambahan dalam jarh wa ta’dil.

v  “Al-Hadyu wa al-sunan fî ahâdits al-masânid wa al-sunan atau  yang masyhur dengan istilah jâmi’ al-masânid.
Dalam kitab ini, Ibnu Katsir menggabungkan kitab musnad Imam Ahmad (w.241), Al-Bajjar (w.291), Abi Ya’la w.307) Ibnu Abi Syaibah (w.297)\bersama kitab yang enam. Kemudian Ia menyusunnya dengan bab per bab.

v  “Al-Sîrah al-Nabawiyah.


v  “Al-Musnad al-Syaikhân (musnad Abu Bakar dan Umar).

v  Syamâil al-rasûl wa dalâilu nubuwwatihi wa fadlâilihi wa khashâ`isihi (di nukil dari kitab bidâyah wa nihâyah).

v  Ikhtishar al-sîrah al-Nabawiyah. Di ambil dari bidâyah wa nihâyah terkhusus mengenai kisah bangsa Arab jaman jahiliyah dan jaman Islam serta sirah Nabi Saw.

v  “Al-Ahâdîts al-tawhîd wa al-rad ‘alâ al-syirik.

v  “Syarah Bukhari.”

v  Takhrîj ahâdîts muktashar Ibnu al-Hâjib.

v  “Takhrîj ahâdîts adillatu al-tanbîh fî fiqh al-Syafi’i.”

v  Muktashar kitab Baihaqi (al-madkhal ilâ al-sunan).

v  Ikhtishar ‘ulûmu al-hadîts li Ibnu al-Shalâh.

v  Kitâb al-Simâ’.

v  Kitâb al-Ahkâm.”

v  Risâlah al-jihâd.

v  Thabâqât al-Syafi’iyyah.

v   Al-Ahkâm al-Kabîrah.

v   “Al-Bahits al-Hadits ila Ma’rifati Ulumul Qur’an.”[11]

v  “Al-Kawakib adh-Dharari.”[12]

v  “Al-Ijtihad wa Thalab Al-Jihad.”

v  “Al-Wadih An-Nafis fi Manaqib Al-Imam Muhammad bin Idris.”[13]



2.  KARYA TAFSIRNYA.
                      Salah satu karyanya yang terkenal dalam ilmu tafsir adalah yang berjudul :
  1. Tafsir Alquran al-Karim sebanyak 10 jilid. Kitab ini masih menjadi bahan rujukan sampai sekarang karena pengaruhnya yang begitu besar dalam bidang keagamaan. Di samping itu, ia juga menulis buku
  2. Fada'il Alquran (Keutamaan Alquran), berisi ringkasan sejarah Al-Quran.
3.  KARYA SEJARAHNYA.
            Bidang ilmu sejarah juga dikuasainya. Beberapa karya Ibnu Katsir dalam ilmu sejarah ini antara lain :
  1. Al-Bidayah wa an Nihayah (Permulaan adn Akhir) sebanyak 14 jilid,
  2. Al-Fusul fi Sirah ar-Rasul (Uraian Mengenai Sejarah Rasul), dan
  3. Tabaqat asy-Syafi'iyah (Peringkat-peringkat Ulama Mazhab Syafii).
            Kitab sejarahnya yang dianggap paling penting dan terkenal adalah judul yang pertama. Ada dua bagian besar sejarah yang tertuang menurut buku tersebut, yakni sejarah kuno yang menuturkan mulai dari riwayat penciptaan hingga masa kenabian Rasulullah SAW dan sejarah Islam mulai dari periode dakwah Nabi ke Makkah hingga pertengahan abad ke-8 H. Kejadian yang berlangsung setelah hijrah disusun berdasarkan tahun kejadian tersebut. Tercatat, kitab Al-Bidayah wa an-Nihayah merupakan sumber primer terutama untuk sejarah Dinasti Mamluk di Mesir. Dan karenanya kitab ini seringkali dijadikan bahan rujukan dalam penulisan sejarah Islam.


IV.      METODOLOGI TAFSIRNYA.
         Karakater karya seseorang tidak akan bisa dilepaskan dari kecondongan minat orang tersebut, kira-kira seperti itu jugalah tafsir Ibnu katsir. Sosok Ibnu Katsir yang condong kepada keabsahan turats telah ikut mewarnai karyanya. Begitu juga hal ini tidak bisa lepas dari kondisi jaman saat itu, perhelatan aliran pemikiran pada abad ke 7/8 H memang sudah kompleks. Artinya telah banyak aliran pemikiran yang telah ikut mewarnai karakter seseorang.
          Pemahaman yang orisinil untuk mempertahankan keontetikan Qur`an dan sunnah terus dijaga inilah sebagian pewarnaan Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Selain itu, kelompok-kelompok yang mengagungkan akal secara berlebihan dan thariqah-thariqah shufiyah telah beredar luas kala itu. Islam telah berkembang pesat dan banyak ‘agamawan’ yang masuk ke dalam Islam. Hal ini ikut pula mempengaruhi /mewarnai perkembangan wawasan pemikiran.
          Ibnu Katsir yang telah ter-sibghah dengan pola pikir gurunya (Ibnu Taymiyah) sangat terwarnai dalam metode karya-karyanya. Sehingga dengan jujur Ia berkata, bahwa metode tafsir yang ia gunakan persis sealur dan sejalur dengan gurunnya Ibnu Taimiyah. Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa tafsir Ibnu katsir telah menjadi rujukan kategori tafsir bil-ma’tsur. Yang tentunya hal ini tidak bisa dipisahkan dari metode beliau dalam karyanya.
Metode yang ia gunakan dalam karyanya adalah sebagai berikut:
Ø  Menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an. Pendeknya, Ia menjelaskan satu ayat dengan ayat yang lain, karena dalam satu ayat di ungkapkan dengan abstrak (mutlak) maka pada ayat yang lain akan ada pengikatnya (muqayyad). Atau pada suatu ayat bertemakan umum maka pada ayat yang lain di khususkan. Ibnu Katsir menjadikan rujukan ini berdasarkan sebuah ungkapan, “bahwa cara yang paling baik dalam penafsiran, adalah menafsirkan ayat dengan ayat yang lain”.

Ø  Menafsirkan al-Qur`an dengan Sunnah. Banyak sekali firman Allah Swt yang menyuruh untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya (baca, Q.s. 3:32, Q.s. 4;59, dll). Begitu juga banyak hadist-hadits yang memerintahkan hal tersebut. Oleh karena itulah, Ibnu Katsir menjadikan Sunnah sebagai referensi kedua dalam penafsirannya. Bahkan dalam hal ini, Ibnu Katsir tidak tanggung-tanggung untuk menafsirkan suatu ayat dengan berpuluh-puluh hadits, bahkan mencapai lima puluh hadits.Kasus ini bisa dilihat ketika menafsirkan surat al-Isrâ.

Ø  Tafsir Qur`an dengan perkataan sahabat. Ibnu Katsir berkata, jika kamu tidak mendapati tafsir dari suatu ayat dari Al-Qur`an dan Sunnah, maka jadikanlah para sahabat sebagai rujukannya, karena para sahabat adalah orang yang adil dan mereka sangat mengetahui kondisi serta keadaan turunnya wahyu. Ia menjadikan konsep ini berdasarkan beberapa riwayat, di antaranya atas perkataan Ibnu Mas’ud: “demi Allah tidak suatu ayat itu turun kecuali aku tahu bagi siapa ayat itu turun dan di mana turunnya. Dan jika ada seseorang yang lebih mengetahui dariku mengenai kitab Allah, pastilah aku akan mendatanginya“. Juga riwayat yang lain mengenai didoakannya Ibnu Abbas oleh Rasululllah saw, “ya Allah fahamkanlah Ibnu Abbas dalam agama serta ajarkanlah ta’wil kepadanya“.

Ø  Menafsirkan dengan perkataan tabi’in. Cara ini adalah cara yang paling akhir dalam cara menafsirkan Al-Qur`an dalam metode bil-ma`tsur. Ibnu Katsir merujuk akan metode ini, karena banyak para ulama tafsir yang melakukannya, artinya, banyak ulama tabi’in yg dijadikan rujukan dalam tafsir. Seperti perkataan ibn Ishaq yang telah menukil dari Mujahid, bahwa beliau memperlihatkan mushaf beberapa kali kepada Ibnu Abbas, dan ia menyetujuinya. Sufyan ats-Tsawri berkata, “jika Mujahid menafsirkan ayat cukuplah ia bagimu”. Selain Mujahid, di antara ulama tabi’in adalah Sa’id bin Jabir, Ikrimah, Atha’ bin Rabah, Hasan al-Bashri, Masruq bin al-Ajdi, Sa’id bin Musayyab, Abu al-’aliyah, Rabi’ bin Anas, Qatadah, al-Dahhak bin muzaahim Radliyall^ahu ‘anhum.

Ø  Ra’yu atau akal. Pada dasarnya Ibnu Katsir sangat tidak berkenan jika dalam referensinya menggunakan akal yang tidak di landasi pijakan keilmuan apapun. Jika ini adanya, ia sangat tidak setuju bahkan mengharamkannya, sekalipun penafsirannya betul. Ibnu katsir memperkuat argumennya ini dengan landasan sebuah hadits, “barang siapa yang berbicara dalam al-Qur`an dengan ra’yunya, dan dengan sesuatu yang tidak diketahuinya, maka bersiap-siaplah menempati neraka”. Ini di satu sisi, sementara di sisi lain, ia memperbolehkan penafsiran dengan ra’yu jika di dasari keilmuan. Pendek kata, memenuhi dan mumpuni dalam sarat-sarat yang telah ditentukan. Sikap Ibnu Katsir ini tentunya mempunyai sandaran dan landasan yang ilmiyah hal ini bisa kita cermati ketika Ia memberikan argumennya baik argumen naql ataupun aql. Dalil naql yang Ia gunakan, salah satunya ialah hadis Saw “Barang siapa yang ditanya, kemudian ia menyembunyikan “kesaktiannya”, ia akan diberi kedali dari api di akhirat nanti” Dalil ini, Ia komunikasikan dengan ungkapan Ibnu Abbas, “tafsir itu 4 jenis, orang Arab yang mengerahui orientasinya karena kearabannya (bahasa), tafsir seseorang yang tidak berdalil karena ketidak tahuannya, tafsir yang hanya diketahui oleh ulama saja dan tafsir yang hanya diketahui oleh allah swt saja”. Sementara dalil logikanya Ia lontarkan, ketika seseorang tidak boleh menafsirkan karena ketidaktahuannya, maka tidak mengapa jika seseorang menafsirkan karena “kesaktiannya”, yang sesuai dengan syara dan dialek bahasa (kafabel dalam bidangnya). [14]

1.  PANDANGAN IBNU KATSIR MENGENAI ISRAILIYAT.

         Sikap Ibnu Katsir dalam israiliyat sama dengan gurunya Ibnu Taymiyyah, akan tetapi dia lebih tegas sikapnya dalam menghadapi masalah ini. Sebagaimana ulama yang lain, Ibnu Katsir mengklasifikasikan israiliyat ke dalam tiga jenis.
·           Pertama, riwayat yang shahih dan kita harus meyakininya. Pendeknya, riwayat     israiliyat tersebut sesuai dengan apa yang di ajarkan oleh syari’at Islam.
·           Kedua, riwayat yang berseberangan dengan Islam, berarti kewajiban untuk ditolak, karena riwayat ini adalah riwayat dusta. Ketiga, riwayat yang tawaquf ditangguhkan. Hal ini menuntut sikap untuk tidak meyakini seratus persen dan menolak seratus persen Sebagaimana dijelaskan dalam hadits,
Habarkanlah oleh kamu tentang bani Israil karena hal itu tidak mengapa bagi kamu…“. Dan hadits lain, “janganlah kamu sekalian membenarkan mereka, juga jangan mendustakan mereka”.

Untuk point pertama dan kedua Ibnu katsir sepakat dengan ulama yang lain tapi untuk point ketiga Ibnu Katsir kurang sepakat dalam tatanan realitanya. hal ini bisa kita cermati, ketika beliau banyak mengedepankan tentang larangan periwatan israiliyat yang Ia suguhkan dalam metode tafsirnya. Begitu pula, Ia banyak melontarkan kritik terhadap riwayat israiliyat, karena riwayat ini kurang mempunyai faidah baik itu dalam permasalah keduniaan maupun problematika keagamaan. Berbagai trik Ia gunakan dalam menghadapi riwayat ini. Seperti, tidak menyebutkan riwayat ini atau, kalaupun ia ungkapkan ia sandarkan kepada orang yang mengatakannya. Lalu ia diskusikan dan menjelaskan kelemahan serta sisi kekurangan riwayat.

  V.      KEISTIMEWAAN METODOLOGI TAFSIR MUFASIR.
           Keistimewaan tafsir Ibnu Katsir ini bisa kita abtrasikan ke dalam beberapa diktum di bawah ini :
1)     Nilai kandungan tafsir tersebut tidak hanya tafsir bil-ma’tsur saja yang menghimpun riwayat serta khabar, Tapi beliau juga menghimpun referensi yang lain.
2)     Menghimpun ayat-ayat yang serupa dengan menjelaskan rahasia yang dalam dengan keserasiannya, keselarasan lafadhnya, kesimetrisan uslubnya serta keagungan maknanya.
3)     Menghimpun hadits dan khabar baik itu perkataan sahabat dan tabi’in. Dengan menjelaskan derajat hadits atau riwayat tersebut dari shahih dan dla’if, dengan mengemukakan sanad serta mata rantai rawi dan matannya atas dasar ilmu jarh wa ta’dîl. Pada kebiasaannya dia rajihkan aqwal yang shahih dan menda’ifkan riwayat yang lain.
4)     Keterkaitan tafsir ini dengan pengarangnya yang mempunyai kafabilitas mumpuni dalam bidangnya. Ibnu Katsir ahli tafsir, tapi diakui juga sebagai muhaddits, sehingga dia sangat mengetahui sanad suatu hadits. Oleh karenanya, ia menyelaraskan suatu riwayat dengan naql yang shahih dan akal sehat. Serta menolak riwayat yang munkar dan riwayat yang dusta, yang tidak bisa dijadikan hujjah baik itu di dunuia ataupun di akhirat kelak.
5)     Jika ada riwayat israiliyat Ia mendiskusikannya serta menjelaskan kepalsuannya, juga menyangkal kebohongannya dengan menggunakan konsep “jarh wa ta’dil.” Keenam, mengekspresikan manhaj al-salâfu al-shaleh dalam metode dan cara pandang, sebagaimana yang tertera dalam Qur`an dan Sunnah.
6)    Keistimewaan yang lain yang merupakan ciri khas tafsir Ibnu Katsir adalah, daya kritisnya yang tiggi terhadap cerita-cerita Israiliyat yang banyak tersebar dalam kitab-kitab tafsir bil-Ma’tsur, baik secara global maupun secara mendetail.[15]

VI.      ANALISIS .
Sebagai bahan analisis saya mencoba menyajikan contoh di dalam Al-Qur’an yang merupakan penafsiran Ibnu Katsir yang menggunakan tafsir bil-Ma’tsur :Ialah dalam surat Al-Hijr yang menerangkan tentang tujuh surat panjang yang dalam hal ini banyak silang pendapat di antara ulama.Ayat tersebut berbunyi sebagai berikut :

 “Dan Sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang, dan Al Quran yang agung.” (Al-Hijr : 87).
Para ulama berikhtilaf mengenai “Sab’ul Matsani”, ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh ayat panjang-panjang yaitu, Al-Baqarah, Ali-Imran, An-Nisa’, Al-Maidah, Al-An’am, Al-A’raf, dan Al-Anfal.
Ibnu Abbas berkata : “ketujuh surat itu tidak diberikan kepada seorang pun kecuali kepada Nabi Muhammad SAW.Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan sebagian tabi’ien.Sa’id bin Jabir berkata, “Dalam ketujuh surat itu terdapat aneka kewajiban, hudud, Qishas, dan hukum lainnya.
Pendapat yang kedua mengatakan, yang dimaksud dengan Sab’ul Matsani ialah surat Al-Fatihah yang terdiri dari tujuh ayat.Pendapat ini diriwayatkan dari Ali, Umar, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Abbas.Ibnu Abbas mengatakan bahwa “Basmalah” merupakan ayat ketujuh, pendapat ini pun dipegang oleh Ibrahim An-Nukha’I, Hasan Bashri, Mujahid, dan sebagainya.
Sehubungan dengan itu, Imam Bukhari meriwayatkan dua hadits :
Ø  Yang pertama, diriwatkan dari Abi Sa’id Ibnul Mu’la, yang berkata, “Pada suatu hari Rasulullah SAW lewat dan melihatku dan bersabda :

 “Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, adalah sab’ul matsani dan Al-Qur’an yang agung yang diberikan kepadaku.”
Ø  Yang kedua, diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda :

 “Al-Fatihah (Ummul-Qur’an),  adalah Sab’ul Matsani dan Al-Qur’an yang agung.”
Inilah penegasan bahwa Al-Fatihah itu merupakan Sab’ul Matsani untuk disifati dengan tujuh ayat yang panjang-panjang sebab di dalamnya terdapat sifat ini, sebagaimana keterangan ini pun tidak menegaskan penyifatan seluruh Al-Qur’an dengan Sab’ul Matsani.Jadi, sifat Sab’ul Matsani dari Al-Qur’an itu tidak dapat dihilangkan, karena penyebutan sesuatu tidaklah menegaskan penyebutan perkara selainnya jika kedua perkara itu memiliki sifat.
Sebagai seorang yang tersohor pada abad 8. Ibnu Katsir layak disejajarkan dengan ulama-ulama terkemuka seperti Imam Thobari, Qurtubi dan ulama lainnya. Beliau bukan saja ahli dalam satu pengkajian, namun memiliki berbagai macam dimensi ilmu baik dalam bidang sejarah, tafsir maupun hadits. Bahkan Ibnu Majah menyatakan beliau selalu tidak terlepas dari dunia keilmuan, ingatannya sangat kuat dan kehidupannya selalu dipenuhi dengan menulis kitab. Didekasi yang tulus serta berkelanjutan mengantarakan Ibnu Katsir menduduki kasta tinggi dalam dunia keilmuan. dalam sejarahnya beliau melakukan ritual berguru dari satu tempat ke tempat lain. Hasilnya beliau menelorkan berbagai macam ragam karya yang berkualitas. Dari hasil karya yang tersohor adalah dalam bidang tafsir yang dikenal dengan nama tafsir Ibnu Katsir. Para ulama mengatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir adalah sebaik-baik tafsir yang ada di zaman ini, karena ia memiliki berbagai keistimewaan. Keistimewaan yang terpenting yakni tafsir yang paling benar adalah ; tafsir Al-Quran dengan Al-Quran sendiri; bila penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran tidak didapatkan, maka Al-Quran harus ditafsirkan dengan hadits Nabi Muhammad SAW menurut Al-Quran sendiri, Nabi memang diperintahkan untuk menerangkan isi Al-quran; jika yang kedua tidak didapatkan, maka Al-Quran harus ditafsirkan oleh pendapat para sahabat karena merekalah orang yang paling mengetahui konteks sosial turunnya Al-Quran; jika yang ketiga juga tidak ditemukan, maka pendapat dari para tabiin dapat diambil.[16]
Seorang ulama kontemporer Muhammad Rasyid Ridho memaparkan bahwa tafsir Ibnu Katsir merupakan tafsir paling masyhur yang memberikan perhatian besar terhadap apa yang diriwayatkan dari para mufasir salaf dan menjelaskan makna-makna ayat dan hukum-hukumnya serta menjauhi perbahasan i'rab dan cabang-cabang balaghah yang pada umumnya dibicarakan secara panjang lebar oleh kebanyakan mufasir; juga menjauhi pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam memahami Qur'an secara umum atau memahami hukum dan nasihat-nasihatnya secara khusus.[17]
Dengan metode bil-ma’tsur, tafsir ini memberikan keunikan dan bobot tersendiri. Selain berhati-hati dan teliti dalam menafsirkan al-qur’an, juga memberikan kemudahan dalam memahami isi kandungan al-qur’an. Selain  juga menyebutkan hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut dilanjutkan dengan penafsiran para sahabat dan para tabiin Beliau juga sering mentarjih diantara beberapa pendapat yang berbeda, mengomentari riwayat yang shoheh atau yang dhoif (lemah). mengomentari periwayatan isroiliyyat. Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, ia menyebutkan pendapat para Fuqaha (ulama fiqih) dengan mendiskusikan dalil-dalilnya, walaupun tidak secara panjang lebar. Dengan keunikan itulah tafsir Ibnu Kasir dijadikan rukukan oleh para ulama dan mufassir hingga sekarang. [18]



VII.      KRITIK.
1. KELEMAHAN METODOLOGI TAFSIR IBNU KATSIR.
Ibnu Katsir, sebagaimana manusia biasa, tentunya tidak akan terlepas dari sifat lupa, maupun salah. Dari hasil penelitian, terdapat beberapa catatan yang mengungkapkan adanya kesamaran dalam karyanya. Sejauh ini, yang penulis ketahui, catatan tersebut adalah buah karya para peneliti ulama Azhar, yang melakukan research terhadap karya-karya klasik. Hasil tahqiq turats yang di gencarkan oleh pihak universitas, setidaknya hal ini telah memberikan kontribusi yang berharga dalam menjaga warisan klasik.
Memang catatan yang ditujukan kepada tafsir ini tidak mengurangi keilmiahan dan nilai tafsir ini Insyaallah-. Dalam hal ini, catatan tersebut di uraikan sebagai berikut;
1. Kesalahan dalam penyandaran. Contohnya, dalam tafsir surat Âli ‘Imrân:169. Ia menyebutkan riwayat Ahmad; tsana Abdul Samad, tsana Hamâd, tsana Tsabit, ‘an Anas marfû’an, “mâ min nafsin tamûtu laha…” al-hadits. Ibnu katsir berkata, “tafarrada bihi muslim min tharîq Hamâd“. Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Muslim dari jalan Humed dan Qatadah dari Anas. Imam Muslim tidak mengeluarkan hadits ini dari Tsabit melalui jalur Anas. Sebenarnya yang meyendiri itu adalah riwayat Ahmad, “tafarrada bihi ahmad min tharîq Hamâd“.
2. Kesalahan dalam nama sahabat yang meriwayatkan hadits, atau penyandaran hadits kepada sahabat, padahal tidak terdapat hadits sahabat tersebut dalam bab ini. Seperti, tafsir surat Yusûf ayat 5. Dalam penafsiran surat ini, Ia mengungkapkan hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan sebagian Ahli Sunan dari Muawiyyah Ibnu Haydah al-Qusyayrî sesungguhnya dia berkata, Rasulullah bersabda, “al-Ru`ya ‘alâ rajuli thâ`ir mâ lam tu’bar…..“. Seperti inilah yang tertera dalam musnad Muawiyyah Ibnu Haydah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah serta yang lainnya meriwayatkan hadits dari Abi Rizin al-’Uqayli. Padahal hadits ini tidak diriwayatkan dari Muawiyyah, melainkan dari Abi Rizin al-’Uqayli.
3. Kesalahan dalam mata rantai sanad. Contoh, tafsir surat al-An’am:59 dari Ibnu Abi Hâtim dengan sanadnya kepada Malik Ibnu Sa’îr, Tsanâ al-A’mas, dari Yazid Ibnu Abi Ziyad dari Abdullah Ibnu Al-Harits dia berkata, “mâ fî al-ardli min syajaratin….“. Ibnu Katsir berkata, seperti inilah Ibnu Jarir meriwayatkan (11/13308), Ziyad ibn Yahya al-Hasani Abu al-Khathab. Sementara dalam tafsir Ibnu katsir di dapati bahwa yang meriwayatkan itu, Ziyad Ibnu Abdullah al-Hasani Abu al-Khatab. Ini jelas keliru, karena riwayat yang sebenarnya ialah Malik Ibnu Sa’ir melalui jalan Ziyad Ibnu Yahya al-Hasani Abu al-Khatab dari Ziyad.
4. Kurang menyentuh dalam menyandarkan riwayat. Contoh, sebagaimana yang Ia ungkapkan dalam menafsirkan surat Âli ‘Imrân:180. Ia mengemukakan hadits, “lâ ya`ti al-rajulu mawlâhu fayas`aluhu…“. Ibnu Katsir merasa cukup menyandarkan dalam periwayatannya kepada ibn Jarir dan Ibnu Mardaweh. Padahal, hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, Nasâ`i dan yang lainnya, yang lebih utama untuk di sandarkan.
5. Lupa dalam menukil beberapa perkataan ulama. Contonya, tafsir surat al-A’raf:8. Ia menyebutkan hadits riwayat imam Tirmidzi. Imam Tirmidzi mengomentari hadits ini dengan ungkapan, “rawâhu tirmidzi wa shahhahahu“. Padahal yang sebenarnya ialah, “rawahu tirmidzi wa qâla, hadza al-hadîts hasan gharîb“.


VIII.      PENUTUP .
1.  KESIMPULAN.
Al-hamdulillah dengan mengalami berbagai macam cara untuk menganilsis bagaimana seorang Ibnu Katsir dalam menafsirkan suatu ayat, kini Inysaallah jelas sudah meskipun makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan apalagi dilihat dari segi keilmiyahan makalah ini bisa dibilang tidak mencapai lima puluh persen untuk mendekati perfect dari sisi keilimiyahannya.Namun inilah yang saya bisa sajikan sedikit banyak Insyaallah akan ada manfaatnya.
Sedangkan mengapa Ibnu Katsir menggunakan Tafsir bil-Ma’tsur,  itu karena penafsiran secara bil-Ma’tsur sendiri mampu menjaga orisinalitas wahyu, lafadz, dan makna Al-Qur’an dalam menafsirkan suatu ayat-ayat Al-Qur’an dengan melakukan pendekatan melalui metode tafsir “bil-Ma’tsur”  hal ini dapat kita lihat dengan adanya contoh diatas.Hal inilah yang membuat tafsir Ibnu Katsir menjadi pedoman  dan bermanfaat bagi semua orang dan di sepanjang zaman.
Wahyu merupakan risalah Allah yang disampaikan kepada Nabi-Nya melalui perantara malaikat Jibril, mimpi, ataupu secara langsung.Wahyu dalam arti ini adalah makna “risalah”, bukan ilham atau insting yang dapat diterima selain Nabi-Nabi-Nya dan makhluk lainnya.Seperti ilham kepada Ummu Musa dan insting yang dimiliki hewan (Q.S.An-Nahl : 68).Al-Qur’an merupakan wahyu terakhir yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam konteks memahami wahyu itu sendiri dibutuhkan metodologi yang memungkinkan seseoragn itu mendapatkan pengertian yang benar dalam memahami setiap ayatnya. Maka sebagai penerang makna Al-Qur’an itu dibutuhkan ilmu tafsir sekaligus cara penafsirannya terkait dengan paradigma bahwa Allah SWT menurunkan Al-Qur’an secara lafadz dan makna sekaligus.Metodologi yang benar dapat memberikan pemahaman yang benar pula, demikian pula sebaliknya metodologi yang salah dapat menimbulkan pemahaman yang sangat fatal dalam memahami firman Allah yang mulia.

            Itulah sekilas tentang bagaimana seorang Ibnu Katsir menafsirkan wahyu Allah serta dilengkapi dengan sekilas tentang biografi beliau. Dari itulah Ibnu Katsir juga menetapkan syarat dan adab yang mendukung otoritas metodologi penafsirannya.Kualitas dan dan tingkat karyanya ditentukan oleh kualitas pribadinya.Syarat dan adab inilah yang merupakan tradisi keulamaannya, khususnya di bidang tafsir dan Ulumul-Qur’an. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi kaum Muslimin yang ingin memperdalam lagi keilmuan tafsirnya.




[1]. Dr.Abdul Ghaffur Mahmud Musthafa Ja’far, At-Tafsir wa Al-Mufasirun Fi  Tsaubihi Al-Jadid, Daar al-Salam; Cairo, 2007, hal.341.
5. Abdur Rahman adz-Dzarqiy, Bidayatun Nihayah,Beirut Libanon, 1999, Cet.V, hal.7.
[4]. Syaikh mohammad Sa’id an-Nursiy, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah,Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, 2007, Cet.I, hal.348.
5. Ibid.348.
[6]. M.Abdul Ghofar, Kisah Para Nabi, Jakarta; 2001, Pustaka Azzam, Cet.I, hal.11.
[7]. Ibid.11.
[8]. Ibid.11.
[9]. Ibid.
[10]. Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, 2008, Cet.III, hal.479.
[11]. Abdurrahman Ad-dzarqiy, Op.,Cit, 348.
[12]. Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Op.,Cit.478.
[13]. Ibid
[14]. Ibid.
[15]. Ibid.
[17]. Ibid.
[18]. Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar