PEUMULIA JAME ADAT GEUTANYO...RELA BERBAGI, IKHLAS MEMBERI...PEUMULIA JAME ADAT GEUTANYO...RELA BERBAGI, IKHLAS MEMBERI...PEUMULIA JAME ADAT GEUTANYO...RELA BERBAGI, IKHLAS MEMBERI...

Selasa, 22 Maret 2011

POLITIK PERPECAHAN UMAT ISLAM


POLITIK DAN PERPECAHAN UMAT ISLAM:
LATAR BELAKANG SEJARAH

Fikri Mahmud


Sejarah dan Politik

            Hampir semua sejarah bangsa-bangsa yang ditulis di muka bumi ini menceritakan  tentang raja-raja atau pemimpin yang berkuasa. Dalam kesusasteraan bahasa Arab, misalnya, Ibnu Jarir At-Tabari (wafat th. 310 H) menamakan karya besarnya dalam bidang sejarah dengan Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah rasul-rasul dan raja-raja). Jalaluddin Al-Suyuti (wafat th. 911 H) menulis buku khusus tentang khalifah-khalifah umat Islam dengan nama Tarikh al-Khulafa' (Sejarah khalifah-khalifah). Ada yang mengatakan bahwa sejarah Nabi yang kita kenal dengan istilah Sirah Nabawiyyah pada mulanya ditulis dalam gaya cerita-cerita Parsi. Kata sirah itu digunapakai untuk menamakan kumpulan cerita mengenai tentang raja-raja Parsi. [1]

        Dalam kesusasteraan bahasa Melayu, terdapat buku Sulalat al-Salatin yang kalau kita terjemahkan secara harfiah membawa maksud keturunan atau salsilah raja-raja (Sulalat  artinya:  garis keturunan, salsilah, dan anak cucu. Salatin bentuk jamak dari Sultan- bermakna: raja-raja). Buku itu kini dinamakan dengan Sejarah Melayu, The Malay Annals.

Bila kita menyalin nama buku-buku sejarah yang ditulis oleh bangsa lain, maka ceritanya akan menjadi panjang. Tetapi pada umumnya buku-buku tersebut memuatkan kisah-kisah mengenai raja-raja dan kebijaksanaan politik yang mereka ambil. Maka tidaklah menghairankan sekiranya ada yang berkata: Sejarah adalah catatan tentang politik masa lalu, sedangkan politik masa kini akan menjadi sejarah di masa hadapan. Dan para pemimpin negara, reka bentuk politik yang menentukan corak perjalanan pemerintahan disebut orang dengan pelaku sejarah.

Masyarakat kita telah terbiasa menggunakan istilah Sejarah Islam untuk menyebut cerita-cerita tentang kerajaan-kerajaan yang dibangunkan oleh masyarakat Islam di masa lalu, dan kerajaan yang dibangunkan oleh umat Islam itu disebut  Kerajaan Islam. Sebenarnya penggunaan kedua-dua istilah tersebut adalah kurang tepat . Ini adalah kerana : Islam merupakan agama yang diwahyukan oleh Allah swt. kepada Rasulullah saw. yang telah sempurna sejak Rasul wafat, sedangkan kerajaan-kerajaan tersebut merupakan hasil daripada usaha manusia yang memiliki banyak kekurangan. Islam merupakan kebenaran yang mutlak, sedangkan kerajaan-kerajaan yang dibangunkan oleh umat Islam itu tidak selalunya benar. Islam dijamin oleh Allah swt. sehingga Hari Kiamat, sedangkan kerajaan-kerajaan tersebut tegak dan runtuh silih berganti. Jadi istilah yang lebih tepat adalah Sejarah Umat Islam dan Kerajaan Umat Islam.

Perpecahan Umat Islam

Jika sejarah adalah cerita tentang politik di masa lalu sebagaimana yang telah dijelaskan di atas sekiranya kalau pandangan tersebut kita terima maka sejarah umat Islam adalah sejarah perpecahan. Mungkin terasa agak keterlaluan jika dikatakan sedemikian. Tetapi, masalah politik merupakan sumber perpecahan umat Islam yang terbesar, sehingga Al-Syahrastani (wafat th. 548 H) dalam bukunya Al-Milal wa al-Nihal mengatakan: wa azhamu khilafin bayna al-ummah khilafu al-immah, iz ma sulla sayfun fi al-Islam ala qaidah diniyyah misla ma sulla ala al-immah fi kulli zaman. ( Dan perselisihan terbesar di antara umat adalah perselisihan mengenai imamah (kepemimpinan), kerana tidak pernah pedang dihunus dalam Islam dengan alasan agama sebagaimana (sesering) dihunus karena imamah pada setiap zaman). [2]

Masalah imamah adalah masalah politik, masalah menentukan siapa yang akan memimpin umat. Walaupun sebenarnya perselisihan mengenai imamah itu sudah bermula sejak Rasulullah s.a.w. wafat, terutama antara golongan Muhajirin dan golongan Anshar, tetapi ianya dapat diselesaikan dengan damai, iaitu dengan mengangkat  Abu Bakar menjadi khalifah. Sejak terbunuhnya Usman bin Affan (tahun 35 H) sehingga ke hari ini umat Islam tidak lagi memiliki pemimpin yang diakui oleh semua pihak. Setiap kelompok mempunyai pemimpinnya tersendiri dan tidak mengakui pemimpin dari kelompok lain. Terbunuhnya Usman itu sendiri sebenarnya disebabkan oleh masalah politik juga. Kelompok pemberontak yang tidak senang dengan  para gabenor yang diangkat oleh Usman dan kebijaksanaannya menuntut agar khalifah ketiga itu meletakkan jawatan, tetapi Usman enggan melakukannya. Keengganan Usman melakukan tuntutan kelompok tersebut membuat mereka marah dan akhirnya Usman terbunuh di rumah ketika sedang membaca Al-Qur`an. [3]

Kematian Usman menjadi titik tolak bagi perpecahan umat Islam. Al-Baghdadi (wafat th. 429 H) dalam bukunya Al-Farq bayna al-Firaq mengatakan: Tsumma ikhtalafu bada qatlihi fi qotilihi wa khozilihi ikhtilafan baqiyan ila yawmina hadza . (Kemudian mereka (para shahabat) berselisih setelah terbunuhnya (Usman) dalam masalah orang-orang yang telah membunuhnya dan orang-orang yang membiarkannya terbunuh, perselisihan yang kekal (berbekas) sampai hari (zaman)kita ini). [4]

Perang saudara pun mulai bersemangat.  Perang pertama yang terjadi adalah perang unta (perang jamal) tahun 36H. Antara kelompok yang dipimpin oleh Aisyah r.a, isteri Rasul saw,  yang menuntut bela atas kematian Usman, dengan kelompok Ali bin Abi Talib yang diangkat menjadi khalifah sesudah Usman. Kelompok pemberontak setelah membunuh Usman bergabung dengan Ali, itulah sebabnya kelompok Aisyah dan kelompok Muawiyah bin Abi Sufyan menuntut agar Ali menegakkan hukum terhadap mereka. Tetapi Ali tidak dapat melaksanakan tuntutan itu. Hal ini menyebabkan krisis politik yang berpanjangan.

Masalah politik merupakan punca yang disebut dengan al-Fitnah al-Kubra (bencana besar) di kalangan umat Islam. Umat Islam berpecah kepada tiga kelompok:
Pertama: kelompok Ali, kedua: kelompok Muawiyah, dan ketiga: kelompok moderat/neutral yang tidak memihak kepada salah satu dari dua kelompok tersebut.  Dua kelompok pertama memiliki pengikut yang banyak, sedangkan kelompok moderat kerana tidak ikut campur dalam masalah politik maka jumlahnya tidak diketahui, tetapi kelompok ini merupakan majoriti umat, di antara para sahabat yang bergabung di dalam kelompok moderat ini adalah: Abdullah bin Umar (Ibnu Umar), Saad bin Malik, Saad bin Abi Waqqas, Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, dan lain-lain. [5]

Pertentangan antara kelompok Muawiyah dan Ali semakin meruncing dan membawa kepada terjadinya perang Siffin. Setelah kelompok Muawiyah hampir kalah, mereka mengajak untuk bertahkim (arbitrate) bagi menyelesaikan konflik yang terjadi. Perundingan (tahkim) dilaksanakan di Daumatul Jandal pada bulan Ramadhan tahun 37 H. Kelompok Muawiyah diwakili oleh Amru bin Ash (wafat th.43 H) dan kelompok Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asy'ari (wafat th. 44 H). Kedua-duanya  bertindak sebagai hakim dari kelompok masing-masing . Perundingan antara kedua belah pihak tidak berjalan dengan jujur. Amru membuat tipuan terhadap Abu Musa dengan mengatakan bahawa konflik yang terjadi adalah disebabkan oleh dua orang, iaitu Ali dan Muawiyah, maka untuk menciptakan perdamaian kedua orang itu harus dipecat dan kemudian diserahkan kepada umat Islam untuk memilih khalifah baru. Tipuan itu berhasil. Amru memberikan kesempatan pertama kepada Abu Musa untuk naik mimbar; Abu Musa mengumumkan pemecatan Ali. Sesudah itu Amru naik mimbar pula, ia menerima pemecatan Ali dan kerana Ali sudah dipecat khalifah tinggal seorang sahaja lagi, iaitu Muawiyahia menetapkan Muawiyah sebagai khalifah umat Islam seluruhnya. Tentu saja kelompok Ali tidak puas hati.

Perundingan tersebut bukan saja tidak menyelesaikan konflik, tetapi malah menimbulkan kelompok baru. Kelompok Ali terpecah menjadi dua; Pertama, yang tetap setia kepadanya (belakang hari disebut syiah); Kedua, yang memberontak, keluar dari kelompok Ali dan berbalik menjadi musuhnya, karena tidak puas dengan keputusan Ali untuk mengikuti perundingan diatas (kelompok ini disebut Khawarij). Kelompok ini pada mulanya memaksa Ali untuk ikut bertahkim, tetapi setelah Ali menerima tahkim mereka menolaknya; Mereka memakai semboyan La hukma illa lillah (Tidak ada hukum (keputusan) melainkan bagi Allah semata). [6]

Kini kelompok yang bertikai dalam masalah politik menjadi tiga; kelompok Muawiyah, kelompok Ali dan kelompok Khawarij. Kelompok terakhir ini mengkafirkan kelompok Pertama dan Kedua, mereka menghalalkan darah orang Islam yang tidak sependapat dengan mereka. Mereka memerangi kelompok Pertama dan Kedua, mereka mengirim utusan rahsia untuk membunuh Ali, Muawiyah dan Amru bin Ash. Muawiyah dan Amru selamat dari pembunuhan, sedangkan Ali terbunuh di tangan Abdul Rahman bin Muljam pada tahun 40 H.

Kematian Ali membuat pengikutnya kesedihan. Hasan, Putra Ali pertama, diangkat menjadi khalifah menggantikan ayahnya. Hasan melihat bahwa pertentangan politik ini hanya akan merugikan umat Islam secara keseluruhan. Oleh karena itu dia mengadakan perdamaian dengan Muawiyah, untuk menjaga agar darah kaum Muslimin tidak tertumpah lebih banyak lagi. Hasan meletakkan jawatan pada tahun 41 H dan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah. Hasan meminta agar Muawiyah menyerahkan urusan khilafah kepada kaum Muslimin bila ia meninggal nanti. Hasan juga meminta agar kelompok Muawiyah berhenti menghina Ali di dalam khutbah-khutbahnya.[7] Gerakan perdamaian ini disokong oleh masyarakat  Islam, sehingga tahun itu disebut sebagai Tahun Persatuan ('am al-Jama'ah). Tetapi perjanjian tersebut tidak ditepati kemudiannya. Hasan meninggal di Madinah kerana terkena racun pada tahun 50 H. Kelompok Syiah menabalkan Husein, putra Ali kedua, menjadi khalifah.

Sebelum Muawiyah meninggal (tahun 60 H) ia menabalkan putranya Yazid sebagai putra Mahkota untuk menggantikannya. Hal itu membuatkan bukan saja kelompok Syiah marah  tetapi juga seluruh kaum Muslimin; kerana jelas melanggar perjanjian damai yang telah dipersetujui dengan Hasan tempo hari. Namun begitu, kaum Muslimin tidak dapat berbuat apa-apa, kerana Muawiyah memerintah dengan kuku besi. Di zaman Yazid (memerintah tahun 60 s/d 64 H) permusuhan kelompok Umawi terhadap Syiah semakin menjadi-jadi. Kelompok Syiah diperangi habis-habisan. Husein terbunuh di Karbala (10 Muharram th. 61 H) dalam pertempuran yang tidak seimbang. Kepalanya dipenggal dan dibawa ke hadapan Yazid sebagai persembahan. Bani Umayah tampil menjadi kekuatan yang tidak dapat ditandingi.

Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah

Penguasa demi penguasa di kalangan Bani Umayah terus berganti, tetapi pertentangan di antara kedua kelompok tadi tidak juga reda. Ali dan pengikutnya terus dihina di setiap mimbar. Kelompok Syiah membalas dan menghina Kelompok Bani Umayah. Sementara itu kelompok Khawarij tetap melaksanakan kegiatan mereka. Di masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan (khalifah kelima Bani Umayah, memerintah tahun 65 s/d 86 H) usaha untuk membina persatuan di buat semula. Abdul Malik walaupun menghadapi berbagai pemberontakan, dia berusaha mempersatukan umat Islam yang sudah berpecah belah kepada berbagai kelompok dan puak, khususnya setelah Abdullah bin Zubeir (khalifah tandingan di Mekah) terbunuh pada tahun 73 H. Dia menggunakan slogan Nahnu Jama'ah Wahidah Tahta Rayah Dinillah (kita semua adalah satu jamaah dibawah naungan bendera agama Allah). Abdul Malik juga mengadakan konsep tarbi', iaitu dengan menyebut nama empat khalifah:Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali di dalam khutbah-khutbah. Konsep ini merupakan kaedah untuk mempersatukan umat Islam juga. Sebelum ini kelompok Umawi hanya mengakui Abu Bakar, Umar, Usman dan Muawiyah, tetapi mereka tidak mengakui Ali. Manakala Kelompok Khawarij hanya mengakui Abu Bakar, Umar; sedangkan kelompok Syiah hanya mengakui Ali saja dengan alasan masing-masing. Setiap kelompok menghina kelompok lain di mimbar-mimbar dan mendoakan keselamatan bagi pemimpin mereka. Kelompok Umawi merelakan nama Muawiyah tidak disebut dalam tarbi itu, sebagai pengorbanan dari mereka demi persatuan umat.

Untuk memperkuatkan usaha persatuan tersebut, maka seluruh umat Islam diseru agar menjadikan Rasul s.a.w sebagai satu rujukan yang unggul.  Kerana Rasul s.a.w sudah wafat, maka sunnah beliaulah yang mesti dijadikan sebagai rujukan. Abdul Malik mendapat sokongan dari masyarakat  Islam. Di antara tokoh kelompok Moderat yang masih hidup dan menyokong Abdul Malik adalah Ibnu Umar (wafat th. 74 H). Umat Islam yang menyokong persatuan ini disebut Ahlu Al-Jama'ah Wa al-Sunnah, kemudian  ada proses pembalikan sering dibaca oleh sebahagian kaum muslimin sehingga menjadi Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah. [8]

Jadi, baik konsep tarbi' yang sampai hari ini sering dibaca oleh sebahagian kaum muslimin --demikian juga dengan mendo'akan pemimpin yang berkuasa-- pada khutbah-khutbah Jumaat,  mahupun istilah Ahlus Sunnah Wal Jamaah, sebenarnya lahir dari proses sejarah yang bertujuan untuk mempersatukan umat yang sudah berpecah belah.  Oleh kerana itu, sering kita terjumpa bahawa kelompok Ahlus Sunnah Wal Jamaah sentiasa berusaha untuk  mempertemukan aliran pemikiran berbagai kelompok yang saling bertentangan.

Tetapi usaha untuk mempersatukan umat itu tidaklah berhasil sebagaimana yang diharapkan, persaingan antara kelompok tetap juga berjalan. Kelompok Syiah, misalnya, tetap tidak dapat bergabung dalam persatuan itu; sebab menurut keyakinan mereka hak untuk memegang jawatan khalifah hanyalah untuk Ali dan keturunannya. Kerana jamaah tadi merupakan inisiatif dari kelompok Umawi yang sememangnya adalah musuh politik mereka, itulah sebabnya kelompok Syiah sampai  hari ini tetap tidak bersimpati kepada kaum Muslimin dari golongan Ahlussunnah Wal-Jamaah. Mereka menganggap Ahlussunnah Wal-Jamaah hanyalah penyokong dan merupakan tali barut dari kelompok Umawi. Tanpaknya dendam kelompok syi'ah terhadap kelompok umawi tidak kesampaian, kerana mereka sudah punah ditelan zaman; jadi golongan Ahlus-Sunnah Wal-jama'ahlah yang menerima padahnya.

Belajar dari Sejarah

Masalah politik telah menyebabkan umat Islam berpecah-belah  dalam berbagai kelompok dan puak-puak. Perpecahan politik juga terpengaruh kepada perselisihan di dalam bidang Akidah, Syariah, dan tidak ketinggalan juga kepada perkembangan Hadith, Tafsir, Tasawuf, dan sebagainya. Sejauh mana pengaruhnya terhadap bidang-bidang tersebut akan kita bahas pada kesempatan lain. Tetapi sebelum menutup tulisan ini, saya ingin menegaskan bahwa perpecahan politik umat Islam di Malaysia ini, sehingga sebahagian menghina yang lain di mimbar-mimbar bahkan ada yang mengkafirkan sesama Muslim, sebenarnya hanyalah proses pengulangan sejarah yang tidak perlu dilakukan.

Umat Islam di negara ini perlu menyedari bahwa pertengkaran itu hina. Perbezaan organisasi politik dan keagamaan hendaklah tidak dijadikan untuk saling menghina dan memusuhi, tetapi dimanfaatkan sebagai sarana untuk berlumba-lumba bagi membuat kebajikan demi kemajuan umat dan negara (Q.S.2:148). Apa yang akan dilihat oleh Allah swt bukanlah organisasi yang kita miliki, tetapi adalah aktiviti (amal) yang kita lakukan (Q.S.9:105). Rasul bersabda: Sebaik-baik manusia adalah orang yang memberi manfaat bagi orang lain. Tentangan yang akan dihadapi di masa hadapan sangatlah berat. Kerana itu persatuan dan kerjasama (amal jamai) perlu diwujudkan. Persatuan yang dimaksudkan tidak bererti membubarkan organisasi-organisasi yang sudah ada, tetapi mesti ada perancangan bersama yang akan dilakukan oleh semua pihak dan setiap kelompok berusaha mewujudkannya untuk kemajuan umat. Oleh kerana itu perlu ada dialog (musyawarah) antara golongan untuk membicarakan agenda bersama tadi.

Kerana pertikaian politik di kalangan umat Islam negara ini sudah meruncing, maka harus ada kelompok Moderat yang mempunyai inisiatif untuk mengadakan dialog tersebut. Kelompok Moderat ini hendaknya dipelopori oleh para pemuda dari berbagai organisasi. Ini adalah disebabkan masa depan bangsa berada di tangan para pemuda hari ini. Wallahu alam.

Nota Kaki:

[1] M. Dawam Rahardjo(1989), Sepatah Kata Tentang Sejarah Muhammad, Pengantar untuk H. Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah Suatu Penafsiran Baru, Bandung: Mizan, hal. 13.

[2] Al-Imam Abu Al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim Al-Syahrastani (t.th.), Al-Milal Wa Al-Nihal, j.1, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah), hal.13.

[3] Al-Imam Muhammad Abu Zahrah (1996), Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, hal. 26-29; Abu Bakar al-Arabi (1418), al-Awasim Min Al-Qawasim, Riyadh: Wazarah al-Syuun al-Islamiyyah,  hal. 61 dst.;  Ahmad Muhammad Ahmad Jilli (1988), Dirasah An al-Firaq Fi Tarikh al-Muslimin: al-Khawarij Wa al-Syiah, Riyadh: King Faisal Centre For Research and Islamic Studies, hal. 30-45; Mustafa Muhammad Asy Syakah (1994), Islam Tidak Bermazhab, A.M. Basalamah (terj.), Jakarta: Gema Insani Press, hal. 101; Syed Ameer Ali (1967), Api Islam,  H.B. Jassin (terj.), Jakarta: P.T. Pembangunan, hal. 158-160; Al-Syahrastani (t.th.), op.cit, hal.15-16.

[4] Al-Imam Abdul Qadir bin Tahir bin Muhammad Al-Baghdadi (1997), al-Farq Bayn Al-Firaq, Beirut: Dar al-Marifah, hal. 24.

[5] Al-Syahrastani (t.th.), op. cit., hal 136-137.

[6] Abu Zahrah (1996), op. cit., hal. 58; Ahmad Jilli (1988), op.cit., hal 48; Al-Syahrastani (t.th), op. cit., hal. 106; Asy Syakah (1994), op. cit., hal 103; Ali Abd al-Fattah al-Maghribi (1995), al-Firaq al-Kalamiyyah al-Islamiyyah, Kairo: Maktabah Wahbah, hal. 170;  Ameer Ali (1967), op. cit., hal 162.

[7] Muawiyah dan Penguasa Bani Umayah sesudahnya selalu mencaci Ali di Akhir khutbah-khutbah mereka, sehingga Ummu Salamah, isteri Rasul saw.,berkirim surat kepada Mu'awiyah agar memberhentikan perbuatan jelek tersebut.  Tetapi surat itu tidak dihiraukan. Di masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau melarang dan menghentikan tradisi buruk seperti itu. Lihat Abu Zahrah (1996), op. cit., hal 34.

[8] Nurcholis Madjid , Aktualisasi Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, dlm M.Dawam Rahardjo (1989), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M, hal. 67.  Menurut Ameer Ali, Istilah Ahlus Sunnah Wal Jamaah pertama kali dipergunakan pada masa pemerintahan Mansur dan Harun, khalifah Abbasiah.  Lihat Ameer Ali (1967), op. cit., hal 178
Zulkifli Hj. Mohd. Yusoff & Fikri Mahmud
Abstrak
Selepas serangan 11 September 2001 ke atas Pusat Dagangan Dunia (World Trade Centre) di New York, masyarakat antarabangsa bertekad memerangi keganasan. Amerika Syarikat adalah negara paling kuat menjuarai serangan terhadap keganasan dan hampir pula mengaitkannya dengan Islam. Meskipun antara Islam dan keganasan adalah dua wajah yang saling bertentangan, namun kedua-duanya selalu dihubungkaitkan. Pada sudut yang lain, gerakan-gerakan keganasan memang wujud pula dalam masyarakat Islam. Perkara tersebut semakin menambah pandangan negatif dan memperburukkan lagi warna Islam di mata dunia. Jihad secara khusus telah difahami sebagai gerakan keganasan, atau sekurang-kurangnya dianggap sebagai penyebab timbulnya gerakan tersebut. Artikel ini cuba mengupas persoalan ini dengan membuang imej keganasan terhadap Islam melalui kupasan terhadap prinsip jihād dalam al-Qur’an.
Pendahuluan
Sejak Abad Pertengahan, Islam di Barat selalu menjadi sasaran tohmahan, sama ada yang telah dilakukan oleh pihak gereja mahupun para sasterawan. Islam dianggap sebagai agama yang berbahaya, lahir dari kuasa jahat, disiarkan dengan pedang, pencetus perselisihan dan keganasan.[1] Sebelum peristiwa 11 September 2001 berlaku, bagi kebanyakan rakyat Amerika “muslim” bererti “pengganas”, “Islam” bererti “kekerasan” dan umat Islam disinonimkan dengan fanatisme.[2] Selepas peristiwa tersebut imej Islam semakin buruk. Sebahagian orang beranggapan bahawa keganasan benar-benar sebati dengan Islam, Nabi Muhammad dituduh sebagai seorang pengganas.[3] “Muhammad was a terrorist. Based upon Muhammad's actions and teachings, Islam justifies terrorism. Today, Muslims use that justification to attack and murder those who differ from them. Muslim terrorists follow in Muhammad's footsteps”, kata Silas.[4]
Antara ajaran Islam yang paling banyak mendapat perhatian adalah jihad. Perkataan jihad telah dipandang negatif dan difahami sebagai aktiviti keganasan, atau sekurang-kurangnya dianggap sebagai penyebab timbulnya gerakan keganasan.[5] Bahkan menurut Edmund Bosworth, segala aktiviti politik yang berlaku di negara-negara seperti Turki, Iran, Sudan, Ethiopia, Sepanyol, India dan sebagainya selama lebih 12 abad adalah berpunca daripada panggilan jihad.[6]
Kesalahfahaman terhadap Islam disebabkan berbagai faktor, antaranya:
Pertama, imej negatif yang telah ditimbulkan oleh gereja sejak Abad Pertengahan. Perkara ini sudah pun diakui oleh gereja. Selepas Majlis (Council) Vatican II (1962-1965) gereja berusaha kembali untuk memulihkan imej Islam yang sudah terlanjur buruk.[7]
Kedua, konflik yang telah berlaku antara kedua belah pihak sepanjang sejarah. Masing-masing pihak telah berjaya menaklukkan pihak lainnya secara bergantian. Mulanya umat Islam yang berjaya mengusir kekuasaan Barat (Rom-Greek) dari Timur Tengah, kemudian menaklukkan beberapa wilayah Eropah. Setelah itu giliran Barat pula yang menaklukkan dan menduduki dunia Islam selama berabad-abad. Pihak Barat secara tidak adil membesar-besarkan penaklukan yang dilakukan umat Islam. Pendudukan Turki ke atas wilayah Eropah dianggap sebagai “teroris dunia”.[8] Penaklukan yang dilakukan umat Islam disebut pencerobohan budaya (cultural agression), imperialisme Arab (Arab imperialism), atau kolonialisme Islam (Islamic colonialism), dan sebagai bukti bahawa Islam disebarkan dengan pedang.[9] Sebaliknya, penjajahan bangsa Eropah ke atas wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Latin mereka namakan “misi membudayakan bangsa barbar” (a mission to civilize the barbaric native).[10]
Ketiga, kejahilan tentang Islam. Secara umum masyarakat Barat kurang memahami Islam. Para sarjana non-muslim yang mengkaji Islam pun kurang mengetahui hakikat Islam sebenar. Yang mereka kaji lebih banyak berkenaan dengan “Islam sejarah” atau “Islam aktual”, bukan “Islam normatif” atau “Islam konseptual”,[11] Padahal untuk mendapatkan kajian yang lebih objektif kedua-duanya mestilah dibezakan.[12] Sebab Islam sejarah/Islam aktual adalah Islam yang telah diterjemahkan ke dalam konteks sejarah oleh umat Islam untuk menjawab cabaran sejarah yang serba kompleks dalam bidang sosial-politik dan budaya yang datang silih berganti. Jawapan yang diberikan itu belum tentu semuanya bertolak daripada ajaran al-Qur’an dan al-sunnah. Sedangkan Islam normatif/Islam konseptual adalah Islam yang tersurat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah yang sahih (authentic), tapi belum tentu tercermin dalam perilaku umat Islam dan realiti sejarah mereka. Oleh kerana sarjana Barat –pada umumnya– mengkaji Islam dari perspektif sosio-historik, maka natijah yang dihasilkannya pun tidak kurang ada yang bertentangan dengan Islam itu sendiri. Max Weber misalnya memandang Islam sebagai “agama tukang-tukang perang” (the religion of warrior class), yang bertujuan mendapat ufti (jizyah) daripada penganut agama lain, supaya Islam naik ke peringkat tertinggi dalam skala sosial dunia.[13] “…Muhammad”, kata Weber”, “constructed the commandment of the holy war involving the subjugation of the unbelievers to political authority and economic domination of the faithful”.[14]
Keempat, sikap sebahagian umat Islam itu sendiri. Segolongan umat Islam memang ada yang berfikiran ganas, mereka melakukan keganasan dengan alasan melaksanakan jihad. Ayat-ayat al-Qur’an dan hadith-hadith Nabi digunakan secara serampangan untuk membenarkan tindakan keganasan yang mereka lakukan.[15] Bahkan ada yang menamakan kumpulan mereka dengan menggunakan perkataan jihad, seperti al-Jihad al-Islami, Tandhim al-Jihad, dan sebagainya. Kelompok yang menyembelih warga Korea Selatan di Iraq bulan Jun 2004 yang lepas menamakan diri mereka sebagai kumpulan al-Tawhid wa al-Jihad. Tragedi 11 September 2001 disambut oleh sebahagian umat Islam dengan rasa syukur dan penuh kegembiraan, walaupun para ulama' dan pemimpin Islam mengutuknya.[16] Perkara semacam ini tentu menambahburukkan lagi pandangan dunia terhadap Islam secara umum dan jihad secara khusus.
Para ulama' dari dahulu hingga kini berbeza pandangan dalam memahami jihad. Adakah jihad hanya bersifat mempertahankan diri (defensive) atau juga menyerang (offensive). Apakah ia hanya boleh dilancarkan terhadap orang-orang kafir yang memerangi umat Islam sahaja, atau terhadap non-muslim secara keseluruhan. Ini adalah kerana adanya ayat-ayat jihad yang nampak seolah-olah bertentangan. Mereka cuba mencari penyelesaian melalui penggunaan kaedah ‘A<mm dan Takhsis-nya, Mut}laq dan Muqayyad-nya, bahkan juga Nasikh dan Mansukh-nya. Dengan cara beginilah mereka merumuskan hukum jihad.
Ayat-ayat jihad turun mengikut keadaan yang dihadapi umat Islam; Masing-masing keadaan menuntut penyelesaiannya tersendiri. Adalah tidak mungkin merumuskan hukum jihad secara umum hanya berdasarkan kepada satu keadaan tertentu sahaja.[17] Penggunaan kaedah Nasikh-Mansukh dalam perkara ini pula boleh membawa suatu kekeliruan.[18] Oleh itu, jalan yang paling selamat adalah mengamalkan ayat-ayat tersebut dalam kondisinya masing-masing. Maka pendekatan sejarah dalam memahami jihad amat diperlukan. Oleh kerana keterbatasan ruang, artikel ini hanya akan ditumpukan pada sebab dan tujuan jihad, serta sasaran dan cara pelaksanaannya, dengan tujuan memperbandingkannya dengan keganasan.
Prinsip Jihad Dalam Al-Qur’an
Pengertian Jihad
Jihad merupakan mas}dar (verbal noun) daripada perkataan jahada (جاهد) yang bermakna: usaha yang gigih dan bersungguh-sungguh atau perjuangan, perlawanan, dan peperangan. [19] Dalam pengertian ini perkataan jihad atau jahada tersebut masih bersifat umum, boleh dipergunakan pada orang-orang muslim mahupun non-muslim.[20] Boleh jadi jihad dilakukan di jalan Allah (al-Jihad fi Sabil Allah), dan boleh jadi pula dilakukan di jalan syaitan (al-Jihad fi Sabil al-Syait}an).[21] Tapi, dalam Islam istilah jihad tidak digunakan melainkan untuk kebaikan dan mengharap rida Allah semata-mata.
Secara umum Ibn Taymiyyah menjelaskan pengertian jihad sebagai “hakikat ijtihad (pengerahan daya upaya secara maksimum) dalam menghasilkan apa sahaja yang disukai oleh Allah berupa keimanan dan pekerjaan yang baik, dan menolak segala yang dibenci oleh Allah berupa kekafiran, dan kefasikan, serta kemaksiatan”.[22] Jihad dalam pengertian ini mencakupi segala bentuk perbuatan yang baik dan perlawanan terhadap hawa nafsu, syaitan, orang-orang kafir, orang-orang munafiq, ahli munkar, orang-orang zalim dan orang-orang fasik.[23] Jihad melawan godaan hawa nafsu dan syaitan disebut “jihad yang paling besar” (al-Jihad al-Akbar), sedangkan jihad melawan musuh yang nyata seperti orang-orang kafir dan orang-orang munafiq disebut “jihad kecil” (al-Jihad al-As}ghar).[24] Walaupun demikian, sebahagian ulama' telah mempersempit pengertian jihād pada “peperangan” sahaja. Sudah tentu hal ini boleh menimbulkan kesalahfahaman bahawa yang dimaksud dengan jihad itu hanyalah perang semata. Apabila jihad dikatakan kemuncak agama, maka boleh memberi kesan bahawa Islam adalah agama perang sebagaimana difahami oleh Weber.
Para ulama' berbeza pendapat dalam mendefinisikan jihad. Tidak mungkin memaparkan semua pandangan mereka di sini. Namun, pandangan-pandangan mereka itu dapat digolongkan kepada beberapa kelompok:
Memandang jihad sebagai perang untuk membela dan mempertahankan diri daripada serangan musuh.[25]
Berpendapat bahawa jihad adalah perang menghancurkan orang-orang kafir.[26]
Menyatakan bahawa jihad adalah usaha menyampaikan dakwah Islam kepada non-muslim dan memerangi orang-orang yang tidak mahu menerimanya.[27]
Memandang jihad sebagai gerakan revolusi menumbangkan sistem sosial dunia yang ada dan menggantinya dengan sistem Islam.[28]
Dalam al-Qur'an jihad tidak selalu bermakna "perang" menggunakan senjata, melainkan "perjuangan" dan "perlawanan" secara umum. Sebaliknya perang bersenjata diungkapkan dengan perkataan "al-Qital" atau "al-H{arb". Ayat-ayat jihad yang turun di Makkah tidak satupun bermakna perang.[29] Perintah perang ketika di Madinah adalah disebut dengan menggunakan perkataan "al-Qital", bukannya " jihad ".[30] Makna jihad akan difahami sebagai perang adalah melalui konteks ayat dimana ia disebut. Ketika ayat itu berbicara tentang perjuangan atau perlawanan menggunakan senjata maka pengertian jihad yang terkandung di dalamnya adalah "perang".[31] Oleh itu, jihad sebetulnya lebih tepat dikekalkan dalam pengertian umumnya. Membatasi jihad sebagai perang sahaja akan membawa kekeliruan.
Perintah jihad sudah turun kepada Rasulullah s.a.w. sejak zaman Makkah, tapi bukan dalam bentuk perlawanan bersenjata (perang), melainkan perlawanan menggunakan al-Qur'an: “فلا تطع الكـــفرين وجــهدهم به جهادا كبيرا ” [Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Qur'an dengan jihad yang besar].[32] Selama tiga belas tahun di Makkah kaum muslimin menerima tekanan dan penganiayaan dari kafir Quraysy, namun mereka tidak dibenarkan melawan menggunakan senjata.[33] Mereka diperintah supaya tetap sabar mempertahankan akidah dan berusaha terus menyampaikan h}ujjah, penjelasan, dan pesan-pesan kebenaran yang dibawa oleh al-Qur'an. Inilah bentuk jihad semasa di Makkah. Sebahagian ulama' menamakannya "jihad secara damai" (al-jihad al-silmi atau peaceful jihad).[34] Kebenaran menggunakan senjata baharulah turun ketika kaum muslimin telah berhijrah ke Madinah.
Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari ni'mat. Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, kerana sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa menolong mereka. (Iaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali kerana mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.[35]
Daripada huraian di atas nyatalah bahawa jihad bersenjata (perang) sebenarnya merupakan langkah terakhir dan baharulah boleh dilaksanakan setelah cara-cara damai yang ditempuh tidak membuahkan hasil. Ini menunjukkan bahawa Islam adalah agama yang mengutamakan perdamaian, bukan agama perang seperti yang disangkakan Weber.
Sebab Dilaksanakan Jihad
Pertama, adanya serangan dari pihak luar. Umat Islam diperintahkan memerangi orang yang telah memerangi mereka dan dilarang memulakan peperangan terhadap orang lain. Firman Allah: “وقـــتلوا في سبيل الله الذين يقـــتلونكم ولاتعتدوا ان الله لايحب المعتدين [36] Maulana Muh}ammad ‘Ali mentafsirkan ayat ini dengan: "And fight in the way of Allāh against those who fight against you, and be not aggressive; surely Allāh loves not the aggressors".[37] Dilihat dari sudut ini jihad lebih bersifat mempertahankan diri (perang defensive). Bahawa kemudian umat Islam diperintahkan menyerang musuh-musuh mereka tidaklah harus difahami sebagai "serangan permulaan", melainkan sebagai "serangan balasan" terhadap orang-orang yang telah memulakan peperangan sebelumnya. Dalam perang sudah lazimnya berlaku serang dan diserang secara bergilir-gilir. Keizinan berperang sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat di atas adalah selepas kafir Quraysy memulakan permusuhan terhadap umat Islam. Ketika tiba di Madinah, Rasul menjalin kerja sama dengan golongan Yahudi, mereka ikut menandatangani Piagam Madinah. Tapi setelah mereka berkhianat dan bersekongkol dengan musuh-musuh Islam baharulah Rasul melancarkan perang terhadap mereka. Adanya perintah dalam al-Qur'an untuk memerangi orang-orang kafir dan Ahli Kitab sehingga mereka membayar jizyah adalah merupakan serangan penyudah daripada rangkaian peperangan yang sudah bermula sebelumnya. Dengan menyerah diri (ditandai dengan kesediaan membayar jizyah) maka peperangan pun selesai dan keamanan terjaga di tangan umat Islam. Seandainya kafir Quraysy tidak memusuhi Islam dan sekiranya kelompok Yahudi tiada berkhianat, maka perjalanan sejarah akan menjadi lain. Sejarah akan bercerita bahawa mereka hidup berdampingan secara damai sebagai komponen warga negara yang memiliki hak-hak dan kewajipan yang sama dengan umat Islam sebagaimana termaktub dalam Piagam Madinah.
Dakwah Islam dan pembinaan masyarakat Madinah saban hari berada dalam ancaman perang dari kaum Quraysy, suku-suku Arab Badwi, golongan Yahudi Madinah dan empayar Byzantium; Sehingga keadaan umat Islam pada masa itu --menurut satu lapuran-- tidak boleh tidur ataupun bangun melainkan dengan senjata.[38] Ketika suatu umat harus mempertaruhkan keberlangsungan hidup mereka, jika tiada gunanya lagi perjanjian damai maka satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah perang habis-habisan.[39] Dalam suasana seperti itulah turunnya ayat-ayat yang memerintahkan memerangi orang-orang kafir secara keseluruhan. Umat Islam harus menaklukkan musuh-musuh mereka, sama ada yang telah memulakan perang mahupun yang mempunyai rencana jahat terhadap mereka.[40] Apabila keadaan memaksa, maka tindakan preventive harus dilakukan.[41] Oleh itu, tidak adil jika kita menilai kejadian sejarah masa lampau dengan menggunakan ukuran masa kini, kerana masing-masing peristiwa mempunyai latar belakang dan memerlukan jawapan yang khas untuk dirinya sendiri. Lebih tidak adil lagi bila kita menjadikan satu peristiwa sejarah sebagai bahan rujukan (dalil) bagi menetapkan hukum untuk diterapkan kepada semua keadaan.[42]
Kedua, adanya kezaliman dan penindasan. Adalah kewajipan umat Islam menolong orang-orang teraniaya dan tertindas. "Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo'a: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau".[43]
Tujuan Jihad
Pertama, mempertahankan diri daripada serangan musuh, termasuk mempertahankan kedaulatan wilayah negara Islam daripada pencerobohan kuasa asing.
Kedua, menghapuskan kezaliman dan penindasan, terutama sekali bagi umat Islam yang memohon pertolongan daripada penindasan. Tapi jika mereka berasal dari negara yang telah menjalin perjanjian damai dengan negara Islam, maka umat Islam harus menghormati perjanjian tersebut dan tidak dibenarkan turut campur (intervensi) menangani urusan dalaman negara berkenaan.[44] Ketika itu jalan damai (diplomasi) yang harus dilakukan.
Ketiga, mengakhiri peperangan dan mewujudkan perdamaian. "Tujuan perang Islam ialah untuk mengakhiri peperangan", kata Pickthall.[45] Adakalanya peperangan tidak boleh dihentikan melainkan dengan perang. Islam melancarkan perang supaya tidak ada lagi perang. Dengan berakhirnya peperangan, maka berakhir pula segala bentuk permusuhan melainkan terhadap penjahat perang. "Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim".[46] "Jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka".[47]
Keempat, menegakkan kebebasan beragama. Penindasan yang dilakukan kafir Quraysy terhadap umat Islam adalah disebabkan masalah agama. "Mereka tidak henti-henti memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup".[48] Umat Islam diperintahkan berperang sehingga penindasan agama benar-benar lenyap. "Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah[49] lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim".[50] Jihad tidak bertujuan untuk memaksa umat lain masuk Islam dan menghancurkan rumah-rumah ibadah mereka.[51] Kebenaran berperang adalah juga untuk menjaga agar biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan mesjid-mesjid tidak dirobohkan, sebagaimana telah disebut di atas. Jika jihad bertujuan untuk memaksa non-muslim masuk Islam, tentulah mereka tidak diberi pilihan antara masuk Islam, atau tetap dalam agama mereka dengan membayar jizyah, atau meneruskan perang.[52]
Sasaran Jihad
Sasaran jihad adalah orang-orang yang terlibat dalam memerangi umat Islam. "Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu".[53] Mereka yang tidak terlibat tidak boleh diperangi. "Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu kerana agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil".[54] Itulah sebabnya Rasul melarang menjadikan penduduk awam (non-combatants) sebagai sasaran. Baginda melarang membunuh anak-anak, para wanita, orang yang sudah tua, orang kurang upaya, para rahib di biara-biara, para petani, dan lain-lainnya yang tidak terlibat dalam peperangan.[55]
Jihad juga tidak boleh disasarkan kepada kepentingan-kepentingan awam. Terdapat dalam larangan yang dikeluarkan oleh khalifah Abu Bakar kepada para pejuang yang akan bertolak ke Syria, agar tidak merobohkan bangunan, tidak menebangi pokok-pokok kurma dan memusnahkan buah-buahan, tidak membunuh binatang ternak kecuali sekadar untuk dimakan.[56] Oleh itu, penggunaan senjata pun harus dibatasi. Walaupun umat Islam diperintah untuk mempersiapkan diri dengan berbagai macam senjata, tetapi ketika penggunaannya haruslah melihat kepada keperluan. Penggunaan senjata pembunuh beramai-ramai jelas melanggar prinsip jihad. Kerana tujuan jihad bukanlah memusnahkan, melainkan melumpuhkan kekuatan lawan sehingga tidak wujud lagi kejahatan daripada mereka.[57]
      Namun larangan-larangan tersebut boleh berubah mengikut keadaan. Misalnya, jika musuh memerangi umat Islam secara keseluruhan, ketika itu umat Islam dibenarkan pula membalas sesuai dengan perlakuan mereka, "dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya".[58] Demikian juga jika mereka menghancurkan kepentingan-kepentingan awam yang dimiliki umat Islam. "Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu".[59]
Perlaksanaan Jihad
Dalam melaksanakan jihad ada kaedah yang harus dipatuhi. Jihad tidak boleh dilaksanakan pada bulan-bulan H{aram[60] dan di tempat H{aram, kecuali jika musuh melanggar ketentuan tersebut, maka umat Islam dibenarkan membalas perbuatan mereka: "Dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil-H{aram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu".[61] Larangan ini sudah wujud sebelum kedatangan Islam lagi. Dengan erti perkataan lain, perlaksanaan jihad haruslah menghormati undang-undang perang antarabangsa.
Jihad hanya boleh diisytiharkan oleh pemimpin umat Islam. Jika sebelumnya ada perjanjian damai dengan pihak musuh, maka pemimpin Islam harus memberi tahu mereka tentang pembatalannya.[62] Sebelum perang berlaku umat Islam haruslah terlebih dahulu berusaha memujuk orang-orang yang memusuhi mereka itu menjadi saudara (masuk Islam); Atau setidak-tidaknya berunding (negotiation) mengajak berdamai dan bekerjasama dengan mereka (umat Islam menjaga keselamatan, mereka membayar jizyah [63]). Jika cara-cara damai ini tidak membuahkan hasil, maka tiada jalan lagi selain meneruskan peperangan.
Sasaran tempur hanyalah orang-orang yang terlibat dalam perang dan penggunaan senjata haruslah diperhitungkan sebagaimana telah dihuraikan di atas. Walaupun perang sudah berlangsung, namun umat Islam diperintahkan untuk berdamai jika musuh mahukan perdamaian.[64] Mayat-mayat musuh tidak boleh dirusaki. Tawanan perang haruslah diperlakukan dengan adil dan baik.[65] Kemudian terpulang kepada pemimpin Islam menentukan kedudukan mereka, apakah dibebaskan, atau diminta tebusan, atau ditukarkan dengan tawanan muslim yang ada ditangan musuh, dan sebagainya. Kecuali bagi penjahat perang, ia harus diadili sesuai dengan kesalahannya. Jika ada yang meminta perlindungan dari kalangan musuh (musta'min), umat Islam dibolehkan melindunginya dan menjamin keamanan dirinya serta harta bendanya.[66] Harta benda musuh sama ada yang didapati melalui perang (al-ghanimah) ataupun melalui perjanjian damai (al-fay', kharaj dan jizyah) penggunaannya diatur oleh negara dan dimanfa'atkan untuk kepentingan awam sesuai dengan petunjuk syari'ah. [67]
Antara Jihad Dan Keganasan
Pengertian Keganasan
“Keganasan” istilah yang sudah popular digunakan sebagai terjemahan daripada istilah Inggeris “terrorism”. Secara bahasa “terrorism” berasal daripada perkataan “terror” yang bermakna “menakutkan” atau “mengerikan”.[68] Sehingga kini belum ada kesepakatan dalam menentukan definisi terrorism atau keganasan.[69] Oleh itu, antara sarjana ada yang berpendapat bahawa perkara yang lebih tepat adalah menentukan ciri-ciri keganasan itu daripada memusatkan perhatian pada definisinya. Dengan cara inilah terorisme dapat difahami dengan baik. [70] Antara ciri-ciri keganasan yang dikemukakan oleh para sarjana adalah sebagai berikut:
Bentuk tindakan: Keganasan merupakan tindakan kekerasan yang tergolong kepada jenayah berat, melanggar undang-undang dan moral. Seperti perompakan, penculikan, penawanan, pembunuhan, pembakaran, pengeboman, perampasan kapal terbang, sabotaj, dan lain sebagainya.
Korban: Biasanya masyarakat awam (non-combatants) yang tiada kena mengena dengan konflik (pihak ketiga).
Tujuan: Umumnya dilakukan untuk mencapai tujuan politik, atau tujuan-tujuan tertentu yang hendak dicapai oleh pelakunya, seperti: ideologi, agama, dan sebagainya.
Cara bertindak: Serangan dirancang secara rahasia dan dilakukam secara mengejut, tidak dapat diramal sebelumnya.
Pelaku: Biasanya anggota kumpulan yang teratur dan terancang.
Aksi-aksi terorisme dimaksudkan untuk mendapat publisiti yang maksimum, supaya khalayak ramai (audien) merasa takut dan ngeri, dan lain sebagainya.[71]
Daripada huraian di atas dapat difahami bahawa terorisme merupakan cara bertindak, iaitu dengan melancarkan serangan secara mengejut terhadap orang awam, atau pihak ketiga yang tiada kena mengena dengan konflik yang berlaku. Ini sesuai dengan definisi yang dibuat oleh Alex P. Schmid dan Janny de Graaf: “The deliberate and systematic use or threat of violence against instrumental (human) targets (C) in a conflict between two (A, B) or more parties, whereby the immediate victims C – who might not even be part of the conflicting parties – cannot, through a change of attitude or behaviour, dissociate themselves from the conflict.[72]
Perbandingan Antara Jihad Dan Keganasan
Melihat kepada ciri-ciri keganasan di atas, ternyata antara jihad dan keganasan terdapat perbezaan yang sangat signifikan, perkara ini dapat dilihat dalam jadual berikut:

Jadual: Perbandingan Antara Jihad dan Keganasan

Perkara
Jihad
Keganasan
Tujuan
Mempertahankan diri.
Menghapuskan kezaliman dan penindasan.
Mengakhiri peperangan dan mewujudkan perdamaian.
Menegakkan kebebasan beragama.
Menakut-nakuti dan mengugut lawan.
Mendapatkan publisiti.
Mendapatkan tuntutan politik, ekonomi, ideologi, agama dan sebagainya.
Prinsip
Perang adalah langkah terakhir setelah gagal mencuba dengan cara-cara damai.
Menggunakan kekuatan secara perhitungan untuk menghindari banyak korban.
Keganasan adalah cara untuk mencapai tujuan.
Menggunakan kekerasan secara perhitu-ngan untuk menciptakan ketakutan yang lebih besar.
Sasaran/
Korban
Hanya orang yang ikut berperang dan mempunyai peranan dalam peperangan sahaja.
Orang-orang yang tidak terlibat dalam konflik yang sedang terjadi.
Perlaksanaan

I. Sebelum Perang:
Memberitahukan pembatalan perjanjian, jika sebelumnya ada perjanjian dengan musuh.
Memberi tiga pilihan kepada musuh, antara : (1). Masuk Islam; (2). Membayar jizyah; atau (3). Meneruskan perang.
Perang diisytiharkan oleh kepala pemerinta-han negara.

II. Ketika Perang:
1. Hanya dibenarkan membunuh orang yang terlibat dalam peperangan.
2. Tidak dibenarkan membunuh kanak-kanak, wanita, lelaki tua, orang yang kurang upaya, para rahib/pendeta, petani, pedagang, orang gila, dan sebagainya; kecuali jika mereka ikut berperang sama ada secara langsung atau tidak langsung.
3. Tidak boleh membunuh musuh yang sudah menyerah atau orang yang meminta perlindungan.
4. Tidak dibenarkan memusnahkan kepentingan awam seperti sumber makanan dan minuman.
5. Tidak boleh membunuh binatang ternak, kecuali sekedar untuk dimakan.
6. Tidak boleh menebangi pepohonan, merusak bangunan, yang tiada berkenaan dengan peperangan.
7. Tidak boleh merusak mayat musuh.
8. Dianjurkan berdamai, jika musuh menginginkan perdamaian.

III. Selepas Perang:
1. Tawanan perang diperlakukan dengan adil dan baik.
2. Tawanan perang terpulang kepada pemerintah: boleh dibebaskan, atau menebusi diri mereka, atau pertukaran tawanan sesuai dengan persetujuan bersama, kecuali bagi penjahat perang.
3. Penjahat perang diadili dan dijatuhi hukuman sesuai dengan kesalahan masing-masing.
4. Harta rampasan perang dikendalikan oleh pemerintah dan ditentukan penggunaannya sesuai dengan hukum syari‘ah.
I. Sebelum Serangan:
1. Merancang serangan secara rahasia.
2. Menyampaikan ugutan dan tuntutan (kadang-kadang).
3. Memberi pilihan yang menguntungkan pengganas (kadang-kadang).
4. Tiada pengisytiharan rasmi akan adanya serangan.

II. Ketika Serangan:
1. Menyerang orang-orang yang tidak terlibat dalam konflik.
2. Tiada membeza-bezakan korban dan tiada sebarang peraturan yang melarang membunuh kanak-kanak, wanita, orang tua, dan sebagainya.
4. Tiada sebarang larangan memusnahkan sumber makanan, minuman, bangunan, dan sebagainya; malahan serangan boleh dilancarkan kepada apa sahaja dan siapa sahaja yang dikehendaki.
5. Tiada perdamaian sebelum tercapai tujuan pengganas.







III. Selepas Serangan:
1. Tawanan diperlakukan sesuai dengan kemahuan dan kepentingan pengganas.
2. Urusan tawanan ditentukan oleh pengganas.
3. Tiada pengadilan bagi tawanan.
4. Harta rampasan dan jarahan ditentukan kedudukannya oleh pengganas berkenaan.

Senjata
1. Segala macam senjata boleh digunakan, kecuali membakar dengan api dan senjata yang boleh membunuh secara beramai-ramai, seperti bom nuklear, biologi, kimia, dan lain sebagainya.
2. Pengecualian di atas boleh digunakan apabila musuh menggunakan senjata berkenaan.
Segala macam senjata boleh digunakan tanpa ada sebarang aturan.

Penutup
Islam adalah agama perdamaian dan menganjurkan kepada para pemeluknya untuk menyelesaikan konflik secara damai. Jika cara-cara damai ini tidak membuahkan hasil, maka baharulah perang boleh dilancarkan.
Melihat kepada sebab-sebab dan tujuan dilaksanakannya, jihad agak mirip dengan konsep "Just War" yang berkembang di Barat, yang kemudian menjadi rujukan bagi undang-undang perang antarabangsa.[73] Jihad hanya dilancarkan berdasarkan kepada sebab-sebab yang mustahak, dan dilaksanakan sesuai dengan kaedah serta etika perang yang adil. Maka dengan demikian, jihad adalah perang yang adil dan dibenarkan. Jihad bukanlah keganasan, sama ada dalam sebab dan tujuan mahupun tata cara perlaksanaannya, di antara jihad dan keganasan terdapat perbezaan yang sangat signifikan. Oleh itu, tidak ada alasan untuk menghubung-kaitkan antara jihad dengan keganasan.
Ayat-ayat jihad mesti difahami dan diamalkan sesuai dengan konteks sejarah diturunkannya. Jika kondisi yang dihadapi oleh umat Islam sama dengan keadaan Rasul pada zaman Makkah, maka ayat yang diamalkan sesuai pula dengan apa yang diturunkan ketika itu. Bila umat Islam mengadakan perjanjian kerjasama dengan umat lain dalam mendirikan sebuah negara, maka yang harus mereka amalkan adalah seperti yang dilakukan Rasul ketika beliau mewujudkan negara Madinah. Jika umat Islam diperangi oleh sekelompok umat lain, maka mereka harus membalas orang-orang yang memerangi mereka itu, sesuai dengan ayat-ayat yang memerintahkan sedemikian.
Wallahu A‘lam !

Prof. Madya Dr. Zulkifli Hj. Mohd. Yusoff
Fikri Mahmud
Jabatan al-Quran dan al-Hadith
Akademi Pengajian Islam
Universiti Malaya
50603 Kuala Lumpur
Malaysia.



*) Kertas Kerja disampaikan pada Seminar Pemikiran Islam Antarabangsa, Universiti Kebangsaan Malaysia, tanggal 7-9 Desember 2004.
[1] Menurut Firestone, sikap prejudis Barat terhadap Islam sama tuanya dengan Islam Itu sendiri (Western prejudice toward Islam is as old as Islam itself). Lihat Reuven Firestone (1999), Jihad: The Origin of Holy War in Islam. New York: Oxford University Press, h. 13. Mengenai pandangan-pandangan dunia Barat Kristian terhadap Islam sejak Abad Pertengahan dapat dirujuk pada Richard William Southern (1962), Western Views of Islam in the Middle Ages. Cambridge: Mass; Maxime Rodinson (1974), “The Western Image and Western Studies of Islam”, dlm. Joseph Schacht & C.E. Bosworth (eds.), The Legacy of Islam, c. 2. Oxford: Oxford University Press; Norman Daniel (1980), Islam and the West: The Making of an Image, c. 4. Edinburgh: University Press; Philip K. Hitti (1985), Islam and the West: a Historical Cultural Survey. H.M.J. Irawan (terj.). Bandung: Penerbit Sinar Baru; Albert Hourani (1991), Islam in European Thought. Cambridge: Cambridge University Press; Karel Steenbrink (1995), Kawan Dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942). Suryan A. Jamrah (terj.). Bandung: Penerbit Mizan; dan lain-lain.
[2] Lihat Abdurahman Alamoudi (1997), “Images of Muslims in America”, dlm. Farish A. Noor (ed.), Terrorising the Truth. Penang: Just World Trust (JUST), h. 4.
[3] Salah seorang pemimpin paderi di gereja Kristian Evangelical Amerika Syarikat, Jerry Falwell, dalam satu wawancaranya dengan program 60 Minutes di rangkaian televisyen CBS mengatakan bahawa Nabi Muhammad adalah seorang pengganas. Kenyataannya itu mendapat reaksi keras dari tokoh-tokoh agama dari berbagai negara, termasuk di Malaysia. Lihat Utusan Malaysia, 4 dan 5 Oktober 2002, hh. 1 dan 4.
[4] Silas (t.t.), “Muhammad, Islam, and Terrorism”, http://www.answering-islam.org/Silas/terrorism.htm, tarikh akses 20 April 2004. Silas (nama samaran?) berusaha meyakinkan bahawa Islam benar-benar sebati dengan keganasan. Ia memaparkan bukti-bukti sejarah yang sebelumnya telah dikemukakan oleh para orientalis dan sudah lama dijawab oleh Moulavi Cheragh Ali pada abad ke-19 lalu. Lihat Moulavi Cheragh Ali (1984), A Critical Exposition of the Popular “Jihad”, Delhi (India): Idarah-I Adabiyat-I Delli (buku ini sudah diterbitkan di Calcutta, th. 1885). Demikian juga dengan laman web The Truth Tree. Laman web ini memuat kutukan terhadap Islam, “A Hindu Condemtion of Islam” yang ditaja oleh kelompok Hindu, Jyotish. Lihat laman web http://www.truthtree.com/islam/islam_menu.shtml, tarikh akses 5 Mai 2004.
[5] Sebagai contoh betapa perkataan jihād membawa maksud yang sangat negatif sejak peristiwa 11 September 2001 lepas adalah apa yang dialami oleh Zayed Yasin, seorang Pelajar Islam Amerika, yang terpilih untuk menyampaikan ucapan ringkas bertajuk “Of Faith and Citizenship: My American Jihad” (Agama dan Kerakyatan: Jihād Saya Sebagai Rakyat Amerika) pada Majlis Konvokesyen di Universiti Harvard awal Jun 2002. Hal ini telah mengundang protes daripada sebilangan pelajar Universiti berkenaan dan Zayed dihina serta menerima ugutan bunuh sejak pihak Universiti memilihnya untuk menyampaikan ucapan tersebut. Lihat berita “Pelajar Universiti Harvard Protes Ucapan “Jihad”", Utusan Malaysia, 31 Mei 2002, h. 17. Bandingkan dengan pengertian jihād yang terkandung dalam konteks tulisan R. Emmett Tyrell berikut: “Orang Arab [muslim] adalah kaum fanatik religius yang mengabdi pada sebuah agama pejuang non-Barat. Warisan mereka bagi kita termasuk kata-kata pembunuh jihad… Di muka bumi ini hanya orang Cina dan Rusia yang terbiasa dengan pembantaian satu sama lain, yang lebih tidak terkendali. Orang Rusia dan Cina melakukan hal ini untuk membuat masyarakatnya lebih efisien dan untuk omong besar; Orang Arab melakukan itu karena ketaatan agama… Apapun kasusnya [kesnya], orang Arab mencabut pisaunya dengan kenikmatan, dan ketika ia selesai menjagal [menyembelih], ia makin dekat kepada Allah”. Lihat Edmund Ghareeb (1988), “Pro-Israel Influence in American Media Coverage of the Middle East”, dlm. The Zionist, Mass Communication from Theory to Application. Tunis: ALESCO (Arab League Educational, Cultural and Scientific Organization), h. 35; dikutip daripada Satrio Arismunandar (1993), “Islam di Mata Media Massa Barat”, Islamika, no. 1, Juli-September 1993, h. 66.
[6] Lihat Edward W. Said (1981), Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See the Rest of the World. London: Routledge & Kegan Paul, h. 108.
[7] Selepas Majlis tersebut Pejabat Untuk Urusan-urusan Non-Kristian (The Office for Non-Christian Affairs) di Vatican menerbitkan sebuah dokumen yang bertajuk “Orientation for a Dialogue between Christians and Muslims” (Orientasi Untuk Dialog Antara Umat Kristian dan Umat Islam). Antara isinya adalah menjelaskan pengertian jihād sebagai “usaha untuk menyiarkan Islam dan mempertahankannya melawan para penceroboh” (the effort to spread Islam and defend it against its aggressors). Ditambahkannya bahawa " jihad tidak bertujuan untuk memusnahkan (extermination), tetapi adalah untuk “menyiarkan hak-hak Tuhan dan hak-hak manusia di negeri-negeri baru”. Lihat Maurice Bucaille (1978), The Bible, The Qur’an and Science. Alastair D. Pannell & the Author (terj.). Indianapolis: American Trust Publications, hh. ii-iii dan 111-114.
[8] Seperti yang ditulis oleh Bosworth: “The Ottoman Turks struck terror into the heart of Christian Europe, so that the Elizabethan historian of the Turks, Richard Knollys, described them as ‘the present terror of the world’”. Lihat C.E. Bosworth (1980), “The Historical Background of Islamic Civilization”, dlm. R. M. Savory (ed.), Introduction to Islamic Civilization. New York, Cambridge: University Press, h. 25; lihat juga Bernard Lewis (1993), Islam and the West. New York–Oxford: Oxford University Press, h. 15. Pada masa itu “Islam” disamakan dengan “Turki”, dan “orang-orang Turki” disinonimkan dengan “umat Islam”. Lihat Rodinson (1974), op. cit., h. 31. Jadi Islam (umat Islam) ketika itu sudah dianggap sebagai “teroris” dunia.
[9] Lihat Ibn Warraq (1995), Why I am not a Muslim. New York: Prometheus Books, h. 198 dan seterusnya.
[10] Lihat Habib Siddiqui (2004), “An Analysis of Anti-Islamic Polemics”, diterbitkan dalam laman web Ivews, http://www.iviews.com/articles/articles.asp?ref=IV0405-2323&p=2, tarikh akses 27 Mai 2004.
[11] Fazlur Rahman membahagi Islam kepada “Islam normatif” (normative Islam) dan “Islam sejarah” (historical Islam), lihat Fazlur Rahman (1982), Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago & London: University of Chicago Press, h. 141, dan Taufik Adnan Amal (1992), Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, c. 3. Bandung: Penerbit Mizan, h. 147. Kemudian Rakhmat juga membahagi Islam kepada dua macam: “Islam aktual” dan “Islam konseptual”, lihat Jalaluddin Rakhmat (1991), Islam Aktual: Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim, Bandung: Penerbit Mizan, h. 18.
[12]We must distinguish between the religious communities as beareres of religious cultures and the normative truths or transcendent aspects of religious”, kata Rahman. Lihat Fazlur Rahman (1985), “Approaches to Islam in Religious Studies: Review Essay”, dlm. Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies. Tucson: The University of Arizona Press, h. 194.
[13] Max Weber (1971), The Sociology of Religion. Ephraim Fischoff (terj.). c. 2. London: Social Science Paperbacks, h. 262.
33 Ibid., h. 87. 
[15] Pada bulan Pebruari 1988, Osama bin Laden mengeluarkan fatwa menghimbau kaum muslimin supaya membunuh rakyat Amerika di mana pun berada. Ia mendasari fatwanya itu dengan surah al-Tawbah (9): 5. Fatwa tersebut disiarkan pada Al-Quds al-Arabi, 23 Pebruari 1998. Lihat Simon Reeve (1999), The New Jackals: Ramzi Yousef, Osama bin Laden and the Future of Terrorism. London: André Deutsch, h. 268; dan Rohan Gunaratna (2002), Inside Al-Qaeda: Global Network of Terror. New Delhi: Roli Books Pvt. Ltd., h. 1.
[16] Omar Bakri, misalnya, daripada Barisan Islam Antara Bangsa (IIF) kepada La Republica yang berpusat di Rom mengatakan bahawa hari serangan dilancarkan itu perlu dirayakan: “Bagi dunia Islam, hari ini merupakan hari yang perlu dirayakan dan kami telah mengagihkan gula-gula dan manisan di masjid-masjid di seluruh dunia, terutamanya di London”, katanya. Osama bin Laden mengucapkan tahniah kepada kumpulan berani mati yang menyerang Amerika Syarikat itu sambil menafikan dirinya terlibat dalam kejadian tersebut. Malahan menurut salah seorang pembantunya yang kata-katanya dipetik oleh Jamal Ismail, ketua Biro Televisyen Abu Dhabi: “Osama bersyukur kepada Allah dan terus sujud sebaik sahaja mendengar berita itu”. Lihat Utusan Malaysia, 13 September 2001.
[17] Seperti dikatakan Tibi: "Qur'anic traditions of war are based on verses related to particular events.  At times, they contradict one another. It is not possible, therefore, to reconstruct from these verses a single Islamic ethic of war and peace". Lihat Bassam Tibi (1996), "War and Peace in Islam", dlm. Terry Nardin (ed.), The Ethics of War and Peace: Religion and Secular Perspectives. Princenton: Princenton University Press, h. 129.
[18] Konsep Nasikh-Mansukh hendak menyeragamkan hukum yang berlaku bagi semua situasi dan kondisi yang beranika ragam itu ke dalam satu hukum sahaja, iaitu dengan mengambil dasar pijakan kepada ayat yang terakhir turun. Ini menyebabkan timbulnya masalah yang serius. Ayat-ayat jihad, terutama ayat al-Sayf  (ayat ke-5 surah al-Tawbah), dikatakan telah memansukhkan (membatalkan) banyak ayat di dalam al-Qur’an yang menyuruh untuk bersabar, pemaaf, toleransi, perdamaian dan lain sebagainya. Menurut al-Zuh}ayli sebahagian ulama' beranggapan bahawa ada sebanyak 124 ayat yang telah dimansukhkan oleh ayat al-Sayf tersebut. Lihat Wahbah al-Zuh}ayli (1961), A<thar al-H{arb fi al-Fiqh al-Islami: Dirasah Muqaranah, c. 3. Beirut: Dar al-Fikr, h. 112. Dan dalam perkiraan Mus}t}}}afa Zayd, ayat-ayat yang telah dianggap mansukh oleh sebahagian ulama' dengan ayat al-Sayf  itu berjumlah 140 ayat. Lihat Mus}t}afa Zayd (1963), al-Naskh fi al-Qur’an al-Karim: Dirasah Tasyri‘iyyah Tarikhiyyah Naqdiyyah, j.2. Kaherah: Dar al-Fikr al-‘Arabiyyah, h. 508.
[19] Perkataan jihad (جهاد) berasal daripada tiga huruf “jhd” (جهد) yang dapat dibaca dengan dua cara: “juhd” atau “jahd”. Yang pertama bermakna: kemampuan/kesanggupan, daya upaya, usaha, kekuatan, dan yang semakna dengannya. Sedangkan yang kedua bermakna: kesungguhan, kesusahan, kesulitan, dan sebagainya. Namun demikian, terdapat perbezaan pandangan di kalangan ahli bahasa, apakah bacaan pertama yang mempunyai makna yang kedua atau sebaliknya. Tapi perbezaan pandangan itu tetap mengandungi kedua-dua pengertian diatas. Lihat Abu al-Fad{l Jamal al-Dīn Muh{ammad b. Mukrim Ibn Manz{ūr (1968), Lisan al-‘Arab, j. 3. Beirut: Dar S{adir, h. 133.
[20] Al-Qur’ān juga menggunakan perkataan ‘jahada’ untuk menyebut usaha yang dilakukan oleh dua orang tua yang kafir untuk memusyrikkan anaknya, seperti yang terdapat dalam ayat: “وان جـــهداك على أن تشرك بي ما ليس لك به علم فلا تطعهما... ” [Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya…]. Lihat surah Luqmān (31): 15.
[21] Lihat Muh}ammad Khayr Haykal (1996), al-Jihad wa al-Qital fi al-Siyasah al-Syar‘iyyah, j.1. Beirut: Dār al-Bayāriq, h. 40.
[22] Teks aslinya: “الجهاد حقيقة الاجتهاد في حصول ما يحب الله من الايمان والعمل الصالح، ومن دفع ما يبغض الله من الكفر والفسوق والعصيان ”, dikutip oleh Ibrāhīm b. ‘Umar b. H{asan al-Rabbāt} al-Biqā‘ī (2002), al-Istisyhad bi A<yat al-Jihad, Kaherah: Dār al-Risālah, h. 15.
[23] Ibid., h. 16.
[24] Berdasarkan pada sebuah hadith yang diucapkan Rasul ketika pulang dari Perang Badar: “رجعنا من الجهاد الأصغر الى الجهاد الأكبر. قالوا وما الجهاد الأكبر؟ قال: جهاد القلب“ وفي رواية ”مجاهدة القلب هواه“ ” [“Kita telah kembali dari jihād yang kecil menuju kepada jihād yang paling besar”. Mereka (para sahabat) bertanya: “Apa jihād yang paling besar itu?”. Rasul berkata: “Jihād dengan hati”. Dalam satu riwayat dikatakan “jihād seorang hamba melawan hawa nafsunya”. Menurut al-‘Asqalānī riwayat ini bukan bersumber dari Rasul, tapi hanyalah perkataan Ibrāhīm bin ‘Ublah. Al-‘Irāqī mengatakan bahawa hadith ini isnadnya d{a‘if (lemah). Lihat Haykal (1996), op. cit., h. 46, khususnya nota kaki no. 2.
[25] Sulaymān al-Jamal mendefinisikannya dengan “قتال الكفار لنصرة الاسلام ” [Memerangi orang-orang kafir untuk menolong (membela) Islam]. Lihat Sulaymān al-Jamal (t.t.), H{asyiyah Sulayman al-Jamal ‘ala Syarh} al-Minhaj, j. 5. Beirut: Dār Ih}yā’ al-Turāth al-‘Arabī, h. 179. Ibn Hārūn mendefinisikannya sebagai “قتال العدو لاعلاء كلمة الاسلام ” [Memerangi musuh untuk meninggikan kalimah (agama) Islam]. Lihat Abū ‘Abd Allāh Muh}ammad b. Muh}ammad b. ‘Abd al-Rah}mān al-Maghribī (al-Khattāb) (1978), Mawahib al-Jalil li Syarh} Mukhtas}ar Khalil, j.3, c.2. Beirut: Dār al-Fikr, h. 347.
[26] Damād Afandī mendefinisikannya sebagai “قتل الكفار ونحوه من ضربهم ونهب أموالهم وهدم معابدهم وكسر أصنامهم وغيرهم  ” [Membunuh orang-orang kafir dan yang sama dengan mereka [kafir dhimmi yang membatalkan perjanjian, atau orang-orang murtad], dan merampas harta benda mereka, serta merobohkan tempat ibadah mereka, dan menghancurkan berhala-berhala mereka, dan lain-lainnya]. Lihat ‘Abd Allāh b. al-Syaykh Muh}ammad b. Sulaymān (Dāmād Afandī) (1316), Majma‘ al-Anhar fi Syarh} Multaqa al-Abhar, j. 1. t.tp.: Dār Ih}yā’ al-Turāth al-‘Arabī, h. 632. Pandangan ini dikutip oleh al-Bannā dalam bukunya Risālah al-Jihād, lihat H{asan al-Banna (1970), Risalah al-Jihad. U.S.A: IIFSO.
[27] Beberapa orang ulama' fiqh mendefinisikan jihād dengan “الدعاء الى الدين الحق والقتال مع من لا يقبله ” [Mengajak kepada agama yang benar (Islam) dan memerangi orang yang tidak mahu menerimanya]. Lihat Abū Muh}ammad Mah}mūd b. Ah}mad al-‘Aynī (1980), al-Binayah fi Syarh} al-Hidayah, j. 5. Beirut: Dār al-Fikr, h. 642; Ibn ‘Ābidīn (1979), H}asyiyah Radd al-Mukhtar ‘ala al-Durar al-Mukhtar: Syarh} Tanwir al-Abs}ar (H{asyiyah Ibn ‘Abidin), j.4, c.3. Beirut: Dār al-Fikr, h. 121; Kamāl al-Dīn b. ‘Abd al-Wāh}id Ibn al-Humām (1977), Syarh} Fath} al-Qadir, j. 5, c. 2. Beirut: Dār al-Fikr, h. 345.
[28] Lihat Abū al-A‘lā al-Mawdūdī (1970), al-Jihad fi Sabil Allah. USA.: IIFSO, h. 13.
[29] Lihat surah al-Furqān (25): 52; al-‘Ankabūt (29): 6 & 69; Luqmān (31): 15.
[30] Misalnya: “كتب عليكم القتال وهو كره لكم.... ” [Diwajibkan atas kamu berperang, padahal perang itu adalah sesuatu yang kamu benci....]. Lihat surah al-Baqarah (2): 216. Ada ayat yang memerintahkan berjihad menghadapi orang-orang kafir dan munafiq: “يـأيهاالنبي جـــهد الكفار والمنـفقين واغلظ عليهم....  ” [Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka....]. Lihat surah al-Tawbah (9): 73 dan al-Tah}rīm (66): 9. Pengertian jihād dalam ayat ini tidak harus difahami sebagai perang bersenjata sahaja, kerana nabi tidak pernah memerangi orang-orang munafik dengan senjata, melainkan hanya dengan menggunakan kata-kata.
[31] Lihat surah al-Mumtah}anah (60): 1; Lihat juga surah al-Nisā' (4): 95; al-Tawbah (9): 86; dan lain-lain.
[32] Surah al-Furqān (25): 52.
[33] Menurut sebahagian ulama' jihād menggunakan senjata semasa di Makkah diharamkan. Lihat Ibrāhīm al-Ni‘mah (1982), al-Jihad fi al-Tas}awwur al-Islami. Mosul: Mat}ba‘ah al-Jumhūr, h. 32.
[34] Lihat Kāmil Salāmah al-Diqs (1972), A<yat al-Jihad fi al-Qur'an al-Karim. Kuweit: Dār al-Bayān, h. 186; Louay Fatoohi (2002), Jihad in the Qur'an: the Truth from the Source. Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, h. 52; Maulana Wahiduddin Khan (2002), The True Jihad: The Concepts of Peace, Tolerance and Non-Violence in Islam. New Delhi: Goodword Books, h. 16.
[35] Terjemahan surah al-H{ajj (22): 38-40. 
[36] Surah al-Baqarah (2): 190.
[37] Maulānā Muh}ammad ‘Alī (1990), The Religion of Islam, c.6. U.S.A.: The Ah}madiyya Anjuman Ishā‘at Islām (Lahore), h. 412.
[38] Lihat Sohail H. Hashmi (2003), "Interpreting the Islamic Ethics of War and Peace", Journal of Lutheran Ethics, dalam laman web http://www.elca.org/jle/articles/ contemporary_issues/article.hashmi_sohail_h.html, tarikh akses 15 April 2004
[39] Tentang kegemaran mereka melanggar perjanjian tersebut dalam al-Qur'an: "(Iaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya). Jika kamu menemui mereka dalam peperangan, maka cerai beraikanlah orang-orang dibelakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya mereka mengambil pelajaran". Lihat surah al-Anfāl (8): 56-57.
[40] Selain musuh yang telah memerangi umat Islam, masih banyak musuh yang belum diketahui. "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa sahaja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya". Lihat surah al-Anfāl (8): 60.
[41] "Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang disekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa". Lihat surah al-Tawbah (9): 123.
[42] Ayat-ayat jihad turun secara bertahap. Ulama' yang menyelidiki tahapan turunnya menyimpulkan sebagai berikut: (1). Ketika di Makkah jihad bersenjata dilarang, umat Islam diperintah supaya bersabar terhadap penindasan kafir Quraysy dan memaafkan mereka; (2). Setelah berhijrah ke Madinah, umat Islam diizinkan berperang jika diserang terlebih dahulu; (3). Kemudian diizinkan pula memulakan serangan terhadap orang-orang kafir, kecuali pada bulan-bulan H{aram dan di tempat H{aram; (4). Pada peringkat akhir, umat Islam diperintah supaya memerangi semua orang-orang kafir secara mutlak, tak kira masa dan tak kira tempat. (Lihat antara lain al-Imam al-Nawawi (1985), Rawd}ah al-T{alibin wa ‘Umdah al-Muftin, j.10, c. 2. Beirut: al-Maktab al-Islami, h. 204; al-Sarakhsi (1993), op. cit., h. 12; al-Diqs (1972), op. cit., h. 209; dan lain-lain). Kemudian, para ulama' berbeza pandangan dalam mentafsirkan tahapan turunnya ayat-ayat jihad itu. Ada yang menggunakan teori Nasikh-Mansukh; mereka berpendapat bahawa ayat yang turun pada peringkat akhir tadi telah memansukhkan ayat-ayat yang turun sebelumnya. Dengan demikian, umat Islam wajib memerangi semua non-muslim tak kira masa dan dimana jua. Ada pula yang menggunakan teori al-Mansa' (penangguhan). Menurut teori ini Tuhan menangguhkan perintah memerangi semua orang yang tidak beriman kerana kondisi umat Islam belum lagi memungkinkan mereka untuk melaksanakannya. Ketika di Makkah umat Islam masih lemah, oleh itu Tuhan menyuruh mereka bersabar. Selepas berhijrah ke Madinah umat Islam mulai kuat, maka Tuhan mulai pula mengizinkan mereka memerangi orang-orang yang memerangi mereka. Kemudian ketika umat Islam benar-benar kuat, Tuhan memerintahkan supaya mereka memerangi semua orang yang tidak beriman tanpa kecuali. (Lihat Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuti (1988), al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, j.3. Beirut: al-Maktabah al-‘As}riyyah, hh. 21-22, dan al-Zuh}ayli (1961), op. cit., hh. 113-114). Menurut kami, ayat-ayat tersebut turun mengikut keadaan yang dihadapi umat Islam pada masa itu, dan harus diamalkan sesuai pula dengan keadaannya masing-masing. Oleh itu, kami kurang bersetuju dengan kedua-dua teori tersebut. Ini akan kami jelaskan pada bahagian penutup artikel ini.
[43] Terjemahan surah al-Nisā' (4): 75.
[44] "(Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka". Terjemahan surah al-Anfāl (8): 72.
[45] Marmaduke Pickthall (1988), Perang dan Agama, c. 2. M. Hashem (terj.). Bandar Lampung – Jakarta: Penerbit YAPI, h. 22.
[46] Lihat surah al-Baqarah (2): 217.
[47] Lihat surah al-Nisā' (4): 90.
[48] Lihat surah al-Baqarah (2): 217.
[49] Fitnah bermaksud penyiksaan dan penindasan. Lihat surah al-Burūj (85): 10.
[50] Terjemahan surah al-Baqarah (2): 193.
[51] "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat". Lihat surah al-Baqarah (2): 256; "Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?". Lihat  surah Yūnus (10): 99.
[52] Dimana pemerintahan Islam berkuasa, umat lain menikmati kebebasan dalam menjalankan agama mereka; tidak ada penyiasatan (inquisition). Ketika umat Islam memasuki Sepanyol, umat Kristian dan Yahudi menikmati hak-hak dan kebebasan mereka sebagai warga negara. Ibu kepada ‘Abd al-Rah}mān al-Dakhīl (khalifah pertama di Cordova, th. 912-961 M) adalah seorang Nasrani. Kerana Islam memang membolehkan lelaki muslim berkahwin dengan perempuan Yahudi dan Nasrani. Berbeza keadaannya ketika Ferdinand dan Isabella merebut kembali Sepanyol dari umat Islam; Kardinal Ximenez merasmikan suatu kempen taubat paksa terhadap sisa-sisa umat Islam di sana. Banyak di antara mereka yang berpura-pura memeluk Kristian, tapi secara diam-diam mengamalkan Islam. Tahun 1501 kerajaan mengeluarkan keputusan, menawarkan pilihan kepada mereka antara meninggalkan Islam atau meninggalkan Sepanyol. Menurut perkiraan, pada abad ke- 17, sebanyak 3 juta umat Islam Sepanyol lenyap. Lihat Hitti (1985), op. cit., h. 96.
[53] Lihat surah al-Baqarah (2): 190.
[54] Terjemahan surah al-Mumtah}anah (60): 8.
[55] Apabila umat Islam menaklukkan Jerusalem, khalifah ‘Umar b. al-Khat}t}ab mengumumkan pemberian jaminan keamanan bagi penganut agama lain. Tapi ketika tentera Salib datang merebut bandar itu, kanak-kanak dilemparkan ke atas dinding, orang-orang dewasa dibakar, perut mereka dirobek untuk melihat apakah mereka ada menelan emas, orang-orang Yahudi digiring ke dalam sinagog mereka dan kemudian dibakar, hampir 70,000 orang mati dibunuh secara beramai-ramai. Lihat Ameer Ali (1974), The Spirit of Islam. London: Chatto & Windus, h. 220.
[56] Lihat Abu ‘Abd Allah Muh}ammad b. Ah}mad al-Ans}arial-Qurt}ubi (1993), al-Jami‘ li Ah}kam al-Qur'an (Tafsir al-Qurt}ubi), j. 2. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, hh. 232-233; al-Zuh}ayli (1961), op. cit., hh. 494-496; al-Diqs (1972), op. cit. h. 93; Majid Khadduri (1969), War and Peace in the Law of Islam, c.4. Baltimore and London: The Johns Hopkins Press, h. 102; dan lain-lain.
[57] Lihat Abu Bakr Muh}ammad b. Abu Sahl al-Sarakhsi (1993), al-Mabs}ut},  j. 10. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, h. 5.
[58] Lihat surah al-Tawbah (9): 36.
[59] Lihat surah al-Baqarah (2): 194.
[60] "Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan H{aram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar". Lihat surah al-Baqarah (2): 217. Bulan-bulan H{aram adalah bulan Dhulqa‘dah, Dhulh}ijjah, Muh{arram dan Rajab. Pada bulan-bulan tersebut masyarakat Arab sejak zaman jahiliah pergi berziarah ke Makkah. Telah menjadi undang-undang pada masa itu bahawa dalam bulan-bulan tersebut dilarang berperang.
[61] Ibid.: 191.
[62] "Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat". Lihat surah al-Anfal (8): 58.
[63]Jumlah bayaran jizyah ditentukan oleh kerajaan sesuai dengan kesanggupan pembayar dan hanya diwajibkan bagi kaum lelaki yang mampu berusaha sahaja. Orang yang sudah tua, orang kurang upaya, kanak-kanak yang belum cukup umur dan para wanita tidak dikenakan jizyah. Sebahagian ulama berpendapat bahawa kewajipan membayar jizyah sebenarnya adalah sebagai ganti daripada kewajipan ketenteraan, bukanlah pajak jiwa  atau pajak kepala seperti yang disangkakan kebanyakan orang. Pandangan ini memang ada benarnya, kerana kalau sekiranya jizyah merupakan pajak jiwa sudah barang tentu setiap jiwa diwajibkan membayarnya, termasuk juga orang tua, para wanita, kanak-kanak, orang kurang upaya, dan sebagainya. Tetapi mereka dikecualikan, ini menunjukkan bahawa jizyah bukanlah pajak jiwa. Yang diwajibkan hanyalah kaum lelaki yang punya kesanggupan untuk berperang. Seorang muslim wajib ikut ke medan perang mempertahankan keamanan dan kedaulatan negara bila keadaan menghendaki, tapi warga non-muslim tidak demikian. Oleh itu, sebagai gantinya mereka diwajibkan pula membayar jizyah. Bila seorang muslim wajib mempertahankan negara dengan harta dan jiwanya, maka warga non-muslim hanya dengan harta mereka. Lihat Muh}ammad Salim Ghazwi (t.t.), al-H{urriyat al-‘A<mmah fi al-Islam ma‘a al-Muqaranah bi al-Mabadi' al-Dusturiyyah al-Gharbiyyah wa al-Marksiyyah. Iskandaria: Mu'assasah al-Syabab al-Jami‘iyyah, h. 67. Pemungutan jizyah sudah menjadi tradisi sejak zaman purbakala. Pada  zaman Nabi Dawud dan Nabi Sulayman, penenduduk minoriti Palestin yang hidup di kalangan orang Israel juga telah membayar jizyah.  Orang-orang Rom dan Parsi pun juga memungut jizyah. Ah}mad Wafiq dalam bukunya ‘Ilm al-Dawlah menjelaskan bahawa paderi-paderi Kristian di bandar Kirs telah menubuhkan satu Tabung Perdamaian Bersama di Rouergue, pungutan diambil sebanyak 3 qurusy ke atas setiap orang kuli, 6 hingga 12 qurusy keatas seorang pekerja, 12 qurusy ke atas setiap satu kandang kambing. Itulah yang dinamakan jizyah dalam tradisi Kristian. Wafiq menyebut nama-nama negeri dan jajahan taklukan yang membayar jizyah kepada Pope sebagai bayaran untuk memperoleh kawalan Botros (St. Pirre), antaranya ialah: Polonia, Sicily, Denmark, Bahome, England, Kiif, Croatia, Jerman, Aragon, dan Portugal. Selanjutnya lihat Ali Ali Mansur (1994), Islam Dalam Perhubungan Antarabangsa. Mahmood Zuhdi Haji Abdul Majid (terj.). Petaling Jaya: Angkatan Belia Islam Malaysia, hh. 357-358.
[64] "Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". Terjemahan surah al-Anfāl (8): 61.
[65] "Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih". Lihat surah al-Insan (76): 8-9. Nabi berpesan: "Perlakukanlah para tawanan secara baik". Tentang tawanan perang Badar beliau berkata: "Mereka itu adalah saudara kamu, berilah mereka makanan apa yang kamu makan, dan pakaian sebgaimana yang kamu pakai". Lihat Z{afir al-Qasimi (1982), al-Jihad wa al-H{uquq al-Dawliyyah fi al-Islam. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, h. 523; al-Zuh}ayli (1961), op. cit., h. 404 dan seterusnya.
[66] "Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui". Lihat surah al-Tawbah (9): 6.
[67] "Ketahuilah, sesungguhnya apa sahaja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan". Lihat surah al-Anfal (8): 41; "Dan apa sahaja harta rampasan (fay') yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya sahaja di antara kamu". Lihat surah al-H{asyr (59): 7.
[68] Menurut kamus The Shorter Oxford English Dictionary on Historical Principles, istilah terror digunakan untuk menyatakan “suatu kondisi yang mengerikan atau sangat menakutkan; perasaan gentar, takut, atau rasa cemas yang amat hebat” (the state of being terrified or greatly firghtened; intense fear, fright, or dread), dan “tindakan atau keadaan yang mendatangkan ketakutan; sangat menggentarkan dan mengerikan” (the action or quality of causing dread; terrific quality, terribleness) dan lain sebagainya. Lihat William Little, H.W. Fowler & J. Coulsen (1968), The shorter Oxford English Dictionary on Historical Principles, edisi ke-3. Oxford: The Clarendon Press, h. 2155.
[69] Encyclopedia of Terrorism and Political Violence menghimpun sebanyak tujuh puluh definisi terrorism yang telah dibuat oleh para sarjana. Lihat John Richard Thackrah (1987), Encyclopedia of Terrorism and Political Violence. London & New York: Routledge & Kegan Paul, hh. 58-63.
[70] Lihat Brian M. Jenkins (2003), “International Terrorism: The Other World War”, dlm. Charles W. Kegley, Jr. (ed.), The New Global Terrorism: Characteristics, Causes, Controls. New Jersey: Prentice Hall, h. 17.
[71] Lebih lanjut lihat Paul Wilkinson (1974), Political Terrorism, London: The Macmillan Press Ltd., hh. 52-53; Sudhir Kumar Singh (2000), Terrorism: A Global Phenomenon. Delhi: Authorspress, h. 22; David J. Whittaker (ed.) (2001), The Terrorism Reader. London and New York: Routledge, h. 248; Syed Hussein Alatas (2002), Kemana Dengan Islam: 22 Artikel Pilihan, Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distributors Sdn. Bhd., hh. 99-100; Jenkins (2003), op.cit., h. 18; dan lain-lain.
[72] A.P. Schmid and Janny de Graaf (1982), Violence as Communication: Insurgent Terrorism and the Western News Media. London and Beverly Hills: Sage Publications, h. 15; Agak sama dengan definisi tersebut, Syed Hussein Alatas menjelaskan: "Yang dimaksudkan sebagai terrorist (pengganas) adalah mereka yang merancang ketakutan sebagai senjata per­sengketaan terhadap lawan dengan serangan pada manusia yang tidak terlibat, atau harta benda tanpa menimbang salah atau benar dari segi agama atau moral, ber­dasarkan atas perhitungan bahawa segalanya itu boleh dilakukan bagi mencapai tu­juan matlamat persengketaan" [italic daripada kami]. Lihat Alatas (2002), op. cit., hh. 110-111.                      
[73] Konsep "Just War" berkembang melalui berbagai tahapan. Just War terdiri daripada dua komponen yang dalam bahasa Latin disebut: jus ad bellum (sebab-sebab atau kondisi yang membolehkan perang dilaksanakan) dan jus in bello (etika atau kaedah yang harus dipatuhi oleh askar dalam berperang). Selanjutnya lihat John Kelsay and James Turner Johnson (ed.) (1991), Just War and Jihad. New York. Westport Connecticut. London: Greenwood Press. Huraian singkat tentang sejarah Just War, lihat artikel "The Theory of the Just War", dlm. laman web http://www.bbc.co.uk/religion/ethics/ war/justwarintro.shtml, tarikh akses 15 April 2004.
GERAKAN TERORIS DALAM MASYARAKAT ISLAM:
ANALISIS TERHADAP GERAKAN JEMAAH ISLAMIYAH (JI)*)

Oleh:
Zulkifli Haji Mohd Yusoff & Fikri Mahmud


Abstract
The Islamic society have been uproared recently by terrorism activities. Many observers assumed that among the terrorism movements have root causes in the Moslem community theirself. One of the groups were frequently connected with terrorist activities is Jemaah Islamiyah (JI). This article tries to discourse on this group detailly as it’s origin, ideology, and strategy of struggle, afterwards attempts to give the proper estimation to this group has been listed into the terrorist organizations in the Southeast Asia.


PENDAHULUAN

Dalam setiap kelompok masyarakat, sama ada berbentuk agama dan kepercayaan mahupun aliran pemikiran dan kebudayaan, selalu sahaja ada sebahagian daripada mereka yang cenderung mendominasi kelompok lain. Tidak jarang keinginan tersebut diwujudkan secara paksa dan kadang-kadang dengan kekerasan. Persaingan antara kelompok sudah mewarnai sejarah kehidupan manusia, sejak dahulu hingga ke hari ini.

Sejarah terorisme dirancakkan dengan munculnya kelompok-kelompok pelampau dari berbagai agama. Kelompok ekstrim Yahudi, Zealot, terlibat dalam pembunuhan terhadap pegawai tinggi pemerintahan Rom yang dikenali sebagai kegiatan Sicarii sekitar tahun 66-73 M.; Assassin dilakukan oleh sebahagian kelompok Syi‘ah Isma‘iliyyah Nizariyyah pada abad ke-11 M.[1] Malahan sejarah terorisme moden diawali pada zaman revolusi Perancis (tahun 1793-1794) oleh kelompok Jacobin[2] yang dipimpin Robespierre;[3] sehinggalah ke abad 21 ini, gerakan terorisme tidak sepi daripada kumpulan-kumpulan agama. Tetapi di atas segala hal, masalah politik merupakan faktor utama di sebalik kemunculan gerakan keganasan ini.

Banyak penganalisis di Barat yang lupa bahwa kekerasan yang timbul dari kalangan umat Islam secara tidak langsung disebabkan langkah dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pihak luar, iaitu negara-negara Barat sendiri, mereka lalu mencari akar sejarah kepercayaan Islam yang dikatakan sebagai faktor pendorong gerakan tersebut; agama dianggap sebagai akar kekerasan dalam Islam.[4] Jihad dipandang sebagai punca timbulnya keganasan.[5]

 Pada sudut yang lain, kelompok-kelompok Muslim yang melakukan tindak keganasan sering dipanggil sebagai kelompok Islam fundamentalis, Islamis, radikal, ekstremis, militan dan sebagainya; sehingga apabila istilah-istilah ini disebut maka yang terbayang dalam fikiran pendengarnya adalah sama dengan teroris. Padahal istilah-istilah tersebut mempunyai pengertiannya yang tersendiri. Seseorang mungkin saja seorang fundamentalis, tetapi belum tentu ia teroris. Walaupun kelompok-kelompok tersebut sering dikaitkan dengan kekerasan, namun tidak bererti semuanya mengamalkan terorisme. Karena itu mempersamakan mereka secara keseluruhan dengan teroris adalah suatu pengeliruan.

            Artikel ini membicangkan kumpulan Jemaah Islamiyah, salah satu kumpulan Muslim yang dikaitkan dengan keganasan di Asia Tenggara. Perbincangan meliputi asal-usul, ideologi, strategi perjuangan, dan wilayah operasinal kumpulan tersebut; kemudian penulis akan memberikan penilaian yang sepatutnya, apakah Jemaah Islamiyah merupakan kelompok pengganas atau bukan.

ASAL-USUL JEMAAH ISLAMIYAH

            Jemaah Islamiyah[6] (JI) adalah nama untuk kumpulan Muslim yang beroperasi di Asia Tenggara. Kumpulan ini menjadi popular selepas peristiwa pengeboman sebuah pusat hiburan di Bali pada 12 Oktober 2002, yang mengorbankan 202 nyawa, dan pengeboman di hotel J.W. Marriot, Jakarta, pada 5 Ogos 2003, yang membunuh 12 orang. Kemudian JI juga dipercayai bertanggungjawab ke atas pengeboman di depan pejabat Kedutaan Australia di Jakarta pada 9 September 2004, dan beberapa siri pengeboman gereja di Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya.  Oleh itu, JI secara rasmi dimasukkan ke dalam  senarai organisasi teroris di PBB pada 23 Oktober 2002.

            Walaupun dilaporkan bahawa JI baru ditubuhkan di Malaysia sekitar tahun 1990-an oleh Abdullah Sungkar[7] bersama-sama dengan veteran perang Afghanistan yang terlibat dengan al-Qa‘idah, namun menurut sebahagian pengamat, akar kumpulan JI  telah bermula sejak tahun 1970-an, ketika Sungkar dengan Abu Bakar Ba’asyir[8] mendirikan Sekolah Agama atau Pondok Pesantren al-Mukmin yang dikenali sebagai Pondok Ngruki di Solo, Jawa Tengah.[9] JI merupakan transformasi daripada gerakan Darul Islam (DI) yang pernah memberontak sekitar tahun 1950-an, bertujuan untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII).[10] Dikabarkan bahwa Sungkar dan Ba’asyir masuk ke dalam DI tahun 1976. [11]  Sungkar dilantik menjadi gabenor militer NII wilayah Jawa Tengah.[12] Pada bulan Februari 1977 ia menubuh dan memimpin kelompok pejuang yang diberi nama  Jemaah Mujahidin Ansharullah (JMA) dan dianggap oleh sebahagian pengamat sebagai mukadimah bagi gerakan JI sekarang.[13] Menurut Mark Hong, Sungkar dan Ba’asyir akrab dengan Abdul Wahid Kadungga,[14] dialah yang memperkenalkan kepada mereka gerakan Jama‘ah Islamiyyah (Islamic Group), sebuah gerakan militan Muslim yang merupakan pecahan daripada Ikhwan al-Muslimin  (IM) dan mulai popular di Mesir tahun 1970-an.[15]

 Ketika Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) ditubuhkan pada tahun 1967, Sungkar dan Ba’asyir memimpin cawangannya di Jawa Tengah. Mereka mendirikan stesyen Radio Dakwah Islamiyah Surakarta, yang secara terbuka menyeru melaksanakan jihad di Jawa Tengah, kemudian stesyen radio tersebut diarahkan oleh pemerintah supaya ditutup pada tahun 1975. Kerana itu, ketika menjelaskan kumpulan Jemaah Islamiyah, ICG Asia Report,[16] menyatakan:

Organisasi tersebut [JI] merupakan jelmaan sebuah hibrida ideologi (ideological hybrid). Ada pengaruh kuat dari kelompok Islam radikal di Mesir, dalam erti struktur organisasi, kerahsiaan, dan misi jihadnya. Gerakan Darul Islam pada tahun 1950an masih tetap menjadi ilham yang kuat, akan tetapi ada warna anti-Kristian yang menonjol pada ajaran-ajaran JI yang bukan ciri Darul Islam. Menurut orang-orang yang dekat dengan Abdullah Sungkar, hal itu akibat hubungan masa lalunya dengan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), yang oleh seorang ilmuwan disebut “memiliki obsesi hampir paranoid, yang melihat usaha-usaha misionaris Kristian sebagai ancaman terhadap Islam, serta orientasi yang kian kuat kepada Timur Tengah, terutama Arab Saudi”.[17]

Pada tahun 1978, Sungkar dan Basyir dipenjarakan oleh pemerintahan Soeharto, kerana didakwa bersubuhat dengan kumpulan Komando Jihad[18] yang diketuai oleh Haji Ismail Pranoto (Hispran) untuk mencetuskan tindakan subversi, dan menuntut pelaksanaan Syari‘ah Islam di Indonesia. [19]  Pada tahun 1982, mereka dibebaskan, namun kemudian ekoran peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 yang mengorbankan banyak nyawa, keduanya kembali dituduh melakukan subversi. Inilah yang menyebabkan Sungkar dan Ba’asyir melarikan diri ke Malaysia tahun 1985 melalui Medan.[20] Dalam perjalanannya ke Medan, menurut sebahagian pengamat, Sungkar sempat singgah  di daerah transmigrasi Lampung, Sumatera Selatan, iaitu kawasan penempatan transmigrasi (perpindahan penduduk) asal Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia sempat membentuk kumpulan yang dinamakan Jemaah Islamiyah di daerah Way Jepara. [21]  Lampung telah menjadi asas gerakan Darul Islam yang kuat sejak 1970-an, dipimpin Abdul Qadir Baraja,[22] yang pernah menjadi guru dan turut mendirikan Pondok Ngruki dan kawan rapat Abu Bakar Ba’asyir, yang juga turut hadir pada kongres pendirian  Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan dilantik sebagai ketua bahagian fatwanya. Way Jepara merupakan tempat bagi apa yang disebut sebagai Sekolah Satelit Pondok Ngruki, yang pada tahun 1989 menjadi pusat sebuah pertempuran berdarah antara warga Pesantren dengan Tentera Nasional Indonesia (TNI).[23] Mereka dikenali sebagai kelompok Mujahidin Warsidi. Mereka dianggap menentang ideologi negara, Pancasila.[24]

Tiba di Malaysia Sungkar dan Ba’asyir bertemu dengan Abdul Wahid Kadungga, dialah yang menguruskan tempat tinggal bagi mereka. Sungkar dan Ba’asyir menetap di Kuala Pilah dengan menggunakan nama samaran; Sungkar menggunakan nama “Abdul Halim”, sedangkan Ba’asyir menggunakan nama “Abdus Somad”.[25] Di Malaysia mereka bertemu dengan pendatang lainnya yang berasal dari kelompok pemisah Aceh dan Sulawesi yang sebelumnya ada hubungan dengan DI. [26] Sungkar dan Ba’asyir meneruskan dakwahnya. Walaupun mereka sudah berada di Malaysia, namun tetap berhubung dengan rakan-rakannya di Indonesia, bukan sahaja yang berada di Jawa Tengah, tetapi juga di Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Mereka merekrut anggota yang bersedia berperang di Afghanistan.[27] Sungkar merekrut sukarelawan melalui Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dan mulai menghantar mereka ke Afghanistan sejak tahun 1985 dengan bantuan dana daripada Rabitah al-‘Alam al-Islami (Islamic World League).[28]

IDEOLOGI JEMAAH ISLAMIYAH

            Menurut Sidney Jones, ada empat sumber yang mewarnai gerakan Jemaah Islamiyah.[29] Pertama, ideologi Salafiyah yang telah berakar sebelumnya pada gerakan Darul Islam (DI), yaitu berjuang untuk mewujudkan negara Islam untuk menegakkan syari‘ah Islam semurni-murninya sebagaimana yang telah dilaksanakan oleh Nabi, para sahabat, dan generasi terdahulu (salaf). Sebahagian anggota gerakan DI Jawa Barat adalah anggota organisasi Persatuan Islam (PERSIS) yang didirikan oleh Ahmad Hassan pada tahun 1920-an, dan memiliki beberapa persamaan di segi fahaman keagamaan dengan faham Wahabi di Arab Saudi. Imam Samudera (Abdul Aziz) yang dituduh melakukan pengeboman di Bali adalah berasal daripada keluarga PERSIS.[30] Ketika masih belajar, Imam Samudera sangat akrab dengan salah seorang gurunya, Kyai Saleh As’ad, yang pernah jadi pemimpin Darul Islam di Banten pada tahun 1970-an.[31]

            Kedua, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang didirikan tahun 1967 oleh Mohammad Natsir dan rakan-rakannya yang merupakan bekas anggota Masyumi.[32] Natsir sendiri pernah memimpin PERSIS dan Parti Islam Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) pada tahun 1950-an.[33] DDII semakin berorientasikan Salafiyah setelah Rabitah al-‘Alam al-Islami (Islamic World League) yang didirikan tahun 1962 dan berpusat di Arab Saudi, memberikan dana bantuan pendidikan, dakwah, dan pembangunan masjid melaluinya.[34]  Natsir juga pernah menjawat jawatan wakil presiden Rabitah.[35] Dan Rabitah  juga yang mendanai latihan ketenteraan yang diikuti oleh pengikut Abdullah Sungkar di Afghanistan.

            Ketiga, Ikhwan al-Muslimin  (IM) di Mesir dan kumpulan pecahannya yang lebih keras, yaitu Jama‘ah Islamiyyah yang telah dihuraikan sebelum ini. Pemikiran tokoh-tokoh IM mempengaruhi Sungkar dan Ba’asyir serta memberi inspirasi bagi mereka untuk mendirikan gerakan usrah di Jawa Tengah. Sungkar juga meniru pola gerakan Jama‘ah Islamiyyah Mesir yang dipimpin oleh Syaikh ‘Umar ‘Abd al-Rahman yang tertuduh bersubuhat dalam kasus pengeboman WTC (World Trade Center), New York, tahun 1993. Dikatakan bahwa pada pertengahan tahun 1990-an, Sungkar dan Ba’asyir pernah berhubung dengan Usamah Rusydi dari kumpulan Jama‘ah Islamiyyah, Mesir.[36]

            Keempat, ideologi Mujahidin Afghanistan dan al-Qaedah, khususnya Abdullah Azzam. Sukarelawan yang dihantar oleh Sungkar ke Afghanistan mendapat latihan di kem pejuang yang dipimpin oleh Abdul Rasul Sayyaf yang berfahamkan Wahabi. Sayyaf ada hubungan dengan Azzam yang ketika itu memimpin Rabitah al-‘Alam al-Islami cawangan Peshawar. Azzam juga memimpin Maktab al-Khidmat yang merekrut, mendanai, dan melatih sukarelawan dari negara-negara Islam untuk berjuang melawan Soviet Union di Afghanistan. Tulisan-tulisan Azzam yang berkaitan dengan jihad diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Pustaka Al-Alaq, yang dipercayai mempunyai jaringan dengan JI atau Pondok Ngruki di Solo. Mukhlas (Ali Gufran)[37] mengakui bahwa ia banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Azzam. [38]

STRATEGI PERJUANGAN JI

Seorang murid Sungkar mengatakan bahwa ia kerap memperbandingkan perjuangan kaum Muslimin di Indonesia dengan perjuangan Rasul di Makkah. Seperti Rasul yang harus merancang strategi perjuangan secara senyap, maka setiap upaya untuk berjuang secara terbuka bagi menegakan sebuah negara Islam akan ditumpaskan oleh musuh-musuh Islam.[39] Karena itu, JI merupakan sebuah organisasi rahsia. Strategi yang dilakukan JI untuk mencapai cita-citanya adalah dengan Iman, Hijrah dan Jihad.[40] Tahap-tahap perjuangan Rasul mulai dari Makkah secara sembunyi-sembunyi dan kemudian berhijrah ke Madinah setelah mendapat tentangan hebat dari kaumnya; pada akhirnya berjihad setelah umat Islam kuat, kembali  semula ke Makkah menakluki kota tersebut dari penguasa jahiliyah, banyak mempengaruhi gerakan-gerakan Islam di berbagai negara.[41]

Terinspirasi oleh gerakan Ikhwan al-Muslimin (IM),  bahwa Negara Islam tidak mungkin akan berdiri tanpa terlebih dahulu digerakkan usaha Islamisasi terhadap individu-individunya (Islamisasi mulai dari bawah); maka langkah-langkah yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, mendakwah individu-individu muslim, ini dilakukan secara umum di masjid-masjid. Kedua, individu-individu yang sudah menerima dakwah tadi dikelompokkan ke dalam kumpulan kecil yang dipanggil usrah (daripada bahasa Arab, bermakna: keluarga). Dalam usrah-lah anggota baru mendapat pendidikan. Kegiatan usrah ini biasanya dilakukan dari rumah ke rumah secara bergilir-gilir, ini  dilakukan secara tertutup. Ketiga, daripada kumpulan-kumpulan usrah tadi dibentuklah kelompok yang lebih besar lagi, Jama‘ah Islamiyyah. Dan akhirnya, himpunan daripada Jama‘ah ini akan membentuk sebuah Negara Islam. Sungkar dan Ba’asyir meminta para alumni pesantren al-Mukmin supaya masuk ke dalam jaringan usrah-usrah tersebut.[42] Pola gerakan usrah yang berasal daripada Ikhwan al-Muslimin (IM) ini kemudian juga menyebar di kampus-kampus universitai.[43] Sebahagian anggota gerakan ini kemudian banyak mengkritik dan menentang pemerintah Indonesia.[44]

Cara yang dilakukan JI dalam merekrut anggota pejuangnya adalah sebagai berikut: Pertama, menyampaikan dakwah secara umum di masjid-masjid dan di pesantren-pesantren; Kedua, orang-orang yang nampaknya tertarik dengan dakwah tadi dijemput untuk menghadiri halaqah, yaitu pengajian tertutup dalam kumpulan kecil yang keanggotaannya lebih sedikit (usrah). Dalam halaqah  ini anggota akan dibimbing oleh seorang murabbi (instruktor), dialah yang akan memimpin anggota melalui empat tahap: tabligh (penyampaian dakwah dan informasi), ta‘lim (pengajaran tentang agama Islam), tarbiyah (pendidikan dan latihan mental dan fizikal), dan tamhis (penyaringan). Pada peringkat tamhis, para peserta akan disaring dan diuji bakat serta keupayaan mereka, kemudian mereka akan dibai‘ah menjadi anggota yang setia sebagai pengikut JI.[45]

Sungkar mengatakan bahwa untuk mewujudkan Dawlah Islamiyah itu diperlukan tiga kekutan: Quwwatul Aqidah (kekuatan akidah), Quwwatul Ukhuwwah (kekuatan persaudaraan sesama muslim), dan Quwwatul Musallahah (kekuatan bersenjata). Namun cara atau alat yang amat penting dalam mencapai tujuan tersebut, menurutnya, adalah dengan melaksanakan jihad (perang). [46] JI juga membentuk pasukan khusus yang dipanggil dengan nama Laskar Khas. Antara tugas pasukan ini adalah melakukan serangan-serangan dan pengeboman.[47]

WILAYAH OPERASI JEMAAH ISLAMIYAH

            JI bekerjasama dengan al-Qaeda setelah Abdullah Sungkar bertemu dengan Osama bin Laden di Afghanistan, awal tahun 1990-an.[48] JI yang telah mendapat semangat baru ini, sebagai tangan kanan al-Qaeda di Asia, tidak hanya bercita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia sebagaimana diimpikan oleh DI, melainkan bertujuan lebih jauh lagi, iaitu mendirikan Negara Islam di Asia Tenggara atau Dawlah Islamiyyah Nusantara, yang terdiri dari Malaysia, Indonesia, Brunei, Thailand Selatan, dan Mindanao di Filipina, bahkan juga mencakupi Papua dan Australia. Pada akhirnya, JI berniat mendirikan  Khilafah Islamiyyah yang akan menaungi umat Islam secara keseluruhannya.

JI membagi Asia Tenggara kepada beberapa Mantiqi (region):
  1. Mantiqi I, meliputi Semenanjung Malaysia dan Singapura, dipimpin oleh Hambali[49], kemudian setelah ia tertangkap dipimpin oleh Muchlas (Ali Ghufron). Mantiqi ini berperanan menyediakan keperluan ekonomi untuk operasi JI;
  2. Mantiqi II, meliputi sebahagian besar wilayah Indonesia. Mantiqi ini merupakan sasaran jihad, dipimpin oleh Abdullah Anshori (alias Abu Fatih)[50];
  3. Mantiqi III, meliputi Mindanao, Sabah dan Sulawesi, berperanan melaksanakan latihan ketenteraan, dipimpin oleh Mustopa[51];
  4. Mantiqi IV, meliputi wilayah Papua dan Australia, berperanan mengumpul dana, dipimpin oleh Abdul Rahim.[52]
Kemudian masing-masing mantiqi dibagi pula kepada wakalah (district, atau perwakilan), dan wakalah dibagi lagi menjadi fi’ah (cell, atau kelompok).[53]

HUBUNGAN JI DENGAN KUMPULAN LAINNYA

            JI mempunyai hubungan dengan al-Qaeda, MILF, Abu Sayyaf, dan kumpulan-kumpulan pemisah Muslim lainnya yang ada di Asia Tenggara. Kumpulan-kumpulan tersebut secara organisasi tidak dapat dikatakan mempunyai hubungan langsung, masing-masing kumpulan mempunyai struktur organisasi yang bersifat independen. Apa yang mempersamakan mereka adalah ideologi dan cita-cita hendak mendirikan negara Islam. Hubungan antara mereka terjalin sejak anggota-anggota kumpulan berkenaan turut sama-sama terlibat dalam latihan tentera di Afghanistan - Pakistan, sama ada semasa perang melawan Soviet Union, mahupun sesudahnya. Sejak tahun 1994 pemimpin JI memutuskan untuk memindahkan pusat latihan anggotanya dari Afghanistan ke Mindanao, dengan alasan kos yang lebih murah dan kedudukan logistiknya yang lebih dekat. JI sendiri membuka kem latihan baru dekat kem latihan Abu Bakar milik MILF, terletak antara Maguindanao dan Lanao del Sur, yang dinamakan dengan kamp Hudaibiyah. Kem ini kemudiannya diserang dan berjaya diduduki oleh pasukan pemerintah Filipina pada bulan April 2001. Pusat latihan dipindahkan ke kem Jabal Quba di Gunung Kararao. Dalam kem latihan tersebut anggota-anggota dari kumpulan JI, MILF, dan Abu Sayyaf mendapat latihan bersama-sama. Sebahagian anggota JI bahkan juga terlibat dalam beberapa peristiwa pengeboman di Filipina. Fathur Rohman al-Ghozi[54], misalnya, terlibat bersama-sama dengan anggota MILF dalam merancang  lima serangan bom secara serentak di Manila pada 30 Disember 2000, bertepaatan dengan hari Rizal. Zulkifli[55], pemimpin kem JI perwakilan Hudaibiyah, terlibat pula bersama-sama dengan anggota MILF dan Abu Sayyaf dalam merancang beberapa serangan bom di Mindanao.[56] Selain daripada kem latihan di Mindanao tersebut, JI dan MILF juga membuka kem latihan baru di Poso, Sulawesi, Balikpapan dan Sampit di Kalimantan. Bahkan JI juga punya kem latihan di Blue Mountains, Australia.[57]

            Akhir tahun 1999, Abu Bakar Ba’asyir mengadakan pertemuan di Universiti Islam Antara Bangsa Malaysia, bagi mendirikan Rabitatul Mujahidin (RM).[58]  RM merupakan gabungan kelompok pemisah yang berasal daripada Filipina, Indonesia, Malaysia, Myanmar, dan Thailand. Antara kumpulan yang turut terbabit dalam gabungan tersebut adalah  Kelompok Mujahidin Malaysia (KMM, yang sering disebut sebagai Kumpulan Militan Malaysia); Laskar Jundullah, Darul Islam, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Islam Aceh dari Indonesia; MILF dari Filipina Selatan; the Rohingya Solidarity Organisation (RSO) dan Arakan Rohingya Nationalist Organisation (ARNO) dari Myanmar; dan the Pattani United Liberation Organisation (PULO) dari Thailand Selatan.[59] Malahan juga dikatakan bahwa pada pertemuan kedua RM yang dilaksanakan di Kuala Lumpur, pertengahan tahun 2000, turut hadir ialah wakil dari kumpulan Jihad Islam Mesir (Egyptian Islamic Jihad).[60]

PENILAIAN TERHADAP JEMAAH ISLAMIYAH

            Pertama yang hendak dijelaskan adalah bahwa gerakan keganasan memang ada dilakukan oleh sekelompok anggota JI. Namun tidak semua anggota JI terlibat dalam kegiatan tersebut, sebahagian daripada mereka ada yang moderat, seperti yang dinyatakan oleh Greg Fealy, mereka turut serta dalam pendidikan agama yang menganjurkan kedamaian dan terbabit dalam kerja-kerja kebajikan.[61] Bahkan Abu Bakar Ba’asyir, menurut hasil penyelidikan ICG Asia Report, lebih bersikap moderat dan menentang aksi-aksi pengeboman. Ketika Abdullah Sungkar meninggal dunia pada November 1999, Ba’asyir menggantikannya sebagai ketua JI. Tetapi ramai pengikut Sungkar yang direkrut di Indonesia, terutama anak-anak muda yang lebih keras, tidak berpuas hati dengan peralihan kepemimpinan ke tangan Ba’asyir. Kelompok tersebut di antaranya termasuk Riduan Isamuddin (alias Hambali), Abdul Aziz (alias Imam Samudra), Ali Gufron (alias Muchlas), dan Abdullah Anshori (alias Abu Fatih), dan lain-lain. Mereka menganggap Ba’asyir terlalu lemah, terlalu bersikap akomodatif, serta terlalu mudah dipengaruhi orang lain.

Perpecahan tersebut kian teruk ketika Ba’asyir bersama Irfan Awwas Suryahardy[62] dan Mursalin Dahlan[63], mendirikan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) pada bulan Ogos 2000. Menurut kelompok tadi, konsep MMI telah menyimpang dari ajaran-ajaran Abdullah Sungkar. Misalnya, mereka menganggap hal itu merupakan pengkhianatan terhadap ijtihad politik Sungkar agar JI tetap bergiat di bawah tanah hingga muncul saat yang tepat untuk menegakkan negara Islam. Tetapi, Abu Bakar Ba’asyir berdalih bahawa ruang keterbukaan yang ada pasca Soeharto membuka peluang-peluang baru; jika peluang tersebut tidak dimanfaatkan, maka hal itu bukan sahaja langkah yang salah, bahkan satu dosa. Kelompok tersebut membantah bahwa sistem politik mungkin sahaja lebih terbuka saat ini, namun ia masih dikuasai kaum kafir.

Pengikut Sungkar menolak pandangan Fuad Amsyari, setiausaha MMI, yang mengusulkan perjuangan menegakan syari‘ah Islam sebaiknya melalui jalur parlimen seperti DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) serta memilih calon dari partai Islam pada pilihan raya. Pasca pengakuan Omar Al-Faruq yang kemudian dimuat dalam majalah Time edisi September 2002, terjadi pertemuan antara MMI dengan JI. MMI menyampaikan pandangan Abu Bakar Ba’asyir yang melihat aksi perjuangan bersenjata seperti peledakan bom sebaiknya dihentikan. Karena, hal itu akan memberi impak negatif bagi gerakan Islam.[64]

Dilaporkan telah terjadi pertemuan antara MMI dengan JI di beberapa tempat antara lain di daerah Perak, Surabaya, Lamongan, Mojokerto. Dalam pertemuan itu pihak MMI membujuk JI untuk membatalkan kemungkinan melakukan pengeboman. Sebab, kalau Amerika Syarikat dan pemerintah Indonesia bertindak serentak, maka banyak aktiviti gerakan Islam akan turut terseret dan ditumpaskan. Pandangan Ba’asyir yang disampaikan wakil MMI dalam pertemuan itu tidak dihiraukan oleh anggota JI berhaluan keras. Meskipun secara de jure mereka masih mengakui Abu Bakar Ba’asyir sebagai ketua, tetapi mereka mulai mencari figur-figur baru calon pemimpin yang lebih sejalan dengan pemikiran mereka. Mungkin Ba’asyir mengetahui banyak tentang jaringan JI dan aksi-aksi pengeboman. Namun, hanya kemungkinan kecil sahaja dirinya dianggap sebagai perancang disebalik aksi-aksi tersebut.[65] Sebaliknya, kelompok berhaluan keraslah yang bertanggungjawab dalam perkara tersebut.

Kedua, ideologi yang dipegangi oleh kelompok JI, sama ada dari Salfisme, atau Ikhwan al-Muslimin, dan lain-lainnya seperti telah dijelaskan sebelum ini, tidak dapat dikatakan sebagai penyebab utama yang membuat anggota JI bertindak ganas.[66] Muhammad Rasyid Rida dan bahkan pendiri Ikhwanul Muslimin (IM) sendiri, Hasan al-Banna serta pengikut awalnya juga dikatakan mengikuti fahaman salaf (salafisme);[67]  Tetapi, mereka bukanlah pengganas dan tidak menganjurkan tindakan keganasan.[68] Mohammad Natsir, pendiri DDI, juga seorang demokrat dan berfikiran moden. Dengan demikian, ideologi tidaklah dapat dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya keganasan dari sebahagian anggota kelompok JI tersebut. Jika benar demikian, tentulah semua orang yang berpegang pada ideologi itu akan terbabit dalam tindakan keganasan. Dalam laporan ICG Asia Report, no. 83, 13 September 2004, terungkap bahwa pengikut aliran salaf di Indonesia terpecah menjadi dua:  salafi murni, dan salafi jihadi. Yang pertama bertujuan memurnikan ajaran Islam daripada unsur-unsur syirik, bid‘ah dan khurafat. Mereka memahami jihad (dalam pengertian perang) sebagai usaha membela diri daripada serangan musuh, bukan menggempur atau memulai serangan (jihad talab} atau jihad hujum). Mereka juga tidak membabitkan diri dalam urusan politik, dan menolak pendekatan revolusi menggulingkan pemerintahan yang dipegang oleh seorang muslim. Sedangkan yang kedua bersikap sebaliknya, mereka ini umumnya adalah veteran perang Afghanistan.[69]

Penulis berpendapat bahwa ada faktor kejiwaan yang mendorong kelompok berkenaan bertindak ganas. Secara umum mereka yang terlibat dalam kegiatan keganasan itu adalah golongan yang lebih muda, yang penuh dengan semangat dan keberanian, lebih-lebih lagi setelah mereka turut berperang di Afghanistan. Maka jiwa mereka telah serasi dengan suasana perang, dan cenderung menggunakan kekerasan terhadap orang-orang yang mereka anggap sebagai musuh. Dalam kumpulan al-Qaeda pun tidak semuanya menyetujui tindak keganasan. Abdullah Azzam sendiri, mentor Usamah bin Ladin, tidak merestui perjuangan menggunakan cara-cara keganasan. Sebaliknya, golongan yang lebih muda, seperti Ayman al-Zawahiri dan rakan-rakan yang berasal dari kumpulan Jihad Islam Mesir, inilah yang mendorong untuk melakukan kegiatan keganasan.[70]

Ketiga, banyak pemerhati yang lupa bahwa lahirnya keganasan dari sekumpulan umat Islam itu secara tidak langsung disebabkan oleh tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pihak luar negara, negara-negara Barat yang bersikap ‘double standard’. Mereka lupa bahwa pengeboman di Bali adalah setelah Amerika Syarikat dan sekutu-sekutunya menyerang Afghanistan dan memporak-perandakan Iraq. Malah pada masa yang sama, penindasan terhadap rakyat Palestin tetap berterusan.

Keempat, tidak ada yang salah dalam fahaman Salafisme atau pun Wahabisme seperti yang banyak diungkapkan; seketat apa pun pandangan dan pendapat mereka, mereka tetap berniat untuk mengikuti ajaran Islam yang benar, sesuai dengan yang pernah diamalkan oleh Rasulullah, para sahabat, dan generasi sesudahnya. Apa yang salah adalah sikap yang terbit dari segolongan pengikutnya untuk memaksakan fahaman mereka pada orang lain dan cenderung menafikan fahaman lainnya.

 Kelima, adanya kecenderungan pihak Barat untuk mengaitkan fundamentalisme, Salafisme, Wahabisme, atau pun Islamisme dengan terorisme. Tindakan ini adalah salah kerana membuat kesimpulan secara umum (generalisation).  Hal ini sebetulnya juga mencerminkan sikap mereka yang terlalu fanatik kepada sekularisme yang cenderung menolak peranan agama dalam kehidupan bermasyarakat. Jangankan menjadikan Islam sebagai dasar kehidupan bernegara, menjadikan Kristian sekalipun sebagai dasar negara akan tetap mereka tentang. Penulis melihat bahwa ini merupakan suatu helah daripada Barat sekular untuk mengajak dunia umumnya menolak peranan agama dalam kehidupan bernegara, sehingga setiap anjuran untuk kembali kepada agama akan dilabel dengan istilah-istilah yang bersifat pejoratif dan tidak enak didengar. Mengikut kepada Roger Garaudy,[71] sikap seperti ini pun sebetulnya dapat juga disebut sebagai fundamentalisme, yaitu fundamentalisme sekular.

KESIMPULAN

            Jemaah Islamiyah sebenarnya adalah organisasi dakwah yang berorientasikan politik, bercita-cita hendak mendirikan negara Islam di Asia Tenggara. Sepeninggalan Abdullah Sungkar, JI terpecah menjadi dua bahagian : Yang pertamanya, adalah kelompok moderat yang lebih menekankan pada perjuangan dengan cara Islamisasi dari bawah dan memanfaatkan peluang politik yang ada; dan yang keduanya, adalah kelompok berhaluan keras yang cenderung menggunakan tindak kekerasan, bahkan keganasan bagi mencapai tujuan. Oleh itu, tidaklah adil untuk mengatakan bahwa JI adalah organisasi teroris, hanya karena sekelompok kecil anggotanya melakukan tindakan keganasan. 

BIBLIOGRAFI

 “Abdul Wahid Kadungga: Aktivis Internasional”, Suara Hidayatullah, Oktober 2000, http://www.hidayatullah. com/2000/10/siapa.shtml.
“Al-Qaeda in Southeast Asia: The case of the “Ngruki Network” in Indonesia”, ICG Indonesia Briefing, 8 Agustus 2002.
“Indonesia Backgrounder: How The Jemaah Islamiyah Terrorist Network Operates”, ICG (International Crisis Group) Asia Report, No.43, 11 Disember 2002.
“Indonesia Backgrounder: Jihad in Central Sulawesi”, ICG Asia Report, No.74, 3 Februari 2004.
“Indonesia Backgrounder: Why Salafism and Terrorism Mostly Don't Mix”, ICG Asia Report, No. 83, 13 September 2004.
“Jemaah Islamiyah in South East Asia: Damaged but Still Dangerous”, ICG Asia Report, No. 63, 26 Agustus 2003.
“Sekilas Ustadz Abu Bakar Ba'asyir”, http://www.majelis.mujahidin.or.id /index.php?option=com_content&task= view&id=144,  tarikh akses 01 Mai 2004.
“Soeharto’s Detect, Defect and Destroy Policy Toward Islamic Movement”, dimuat dalam laman web http://www.islam.org.au/articles/17/indonesia.htm, tarikh akses, 24 April 2005.
“Southern Philippines Backgrounder: Terorism and the Peace Process”, ICG Asia Report,  No. 80, 13 Julai 2004.
Allen, Robert (ed.) (1994), Chambers Encyclopedic English Dictionary. Cambridge: The University Press.
Aziz, Jum’ah Amin Abdul (1999), Tsawabit dalam Manhaj Gerakan Ikhwan. Tate Qomaruddin (terj.). Bandung: Asy Syamil Press & Grafika.
Azyumardi Azra (1996), Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta: Penerbit Paramadina.
 Barton, Greg (t.t.), “Assessing the Threat of Radical Islamism in Indonesia”, dalam laman web http://www.sisr.net/apo/Islamism_in_Indonesia.rtf, tarikh akses 31 Mai 2005.
Bruinessen, Martin van (2002), “Geneaologies of Islamic Radicalism in Post-Suharto Indonesia”, ISIM dan Utrecht University. Lihat http://www.let.uu.nl/~martin.vanbruinessen/personal, tarikh akses 24 April 2005.
_______ (2003),“Post-Suharto Muslim Engagements with Civil Society and Democratisation”, (Kertas Kerja, the Third International Conference and Workshop “Indonesia in Transition”, diselenggarakan oleh the KNAW dan Labsosio, Universitas Indonesia, 24-28 Agustus, 2003).
_______ (t.t.), “The Violent Fringers of Indonesia’s Radical Islam”, http://www.let.uu.nl/~martin.vanbruinessen/personal/publications/violent_fringe.htm, tarikh akses 29 Julai 2004.
Burgat, François (2003), Face to Face with Political Islam. London – New York: I.B. Tauris.
Desker, Barry (2003), “The Jemaah Islamiyah (JI) Phenomenon in Singapore”, Contemporary Southeast Asia, Vol 25, No. 3, Disember 2003.
Farha Abdul Kadir Assegaff (1995) , “Peran perempuan Islam (penelitian di Pondok Pesantren Al Mukmin, Sukoharjo, Jawa Tengah)”, (Thesis S-2 (MA), Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1995).
Fealy, Greg (2004), “Islamic Radicalism in Indonesia: The Faltering Revival?”, Southeast Asian Affairs 2004 (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies,2004).
Gunaratna, Rohan (2003a), Inside Al Qaeda: Global Network of Terror, c. 2. London: Hurst & Company.
_______ (2003b), “Understanding Al Qaeda and Its Network in Southeast Asia”, dlm. Kumar Ramakrishna and See Seng Tan (eds.), After Bali: The Threat of Terrorism in Southeast Asia. Singapore: World Scientific & Institute of Defence and Strategic Studies.
Hong, Mark (2003), “Jemaah Islamiyah: The Threat and Responses”, (Kertas Kerja, Institute of Defence and Strategic Studies (IDSS), Nanyang Technological University, Singapore. Lihat http://sam11.moe.gov.sg/ racialharmony/download%5CJemaah_Islamiyah_final.pdf, tarikh akses 24 April 2005. 
Jones, Sidney (2003), “Jemaah Islamiyah: A Short Description”, Jurnal Kultur, Vol. III, No. 1, Th. 2003, http://www.pbbiainjakarta.or.id/kultur/?Berita= 052403035304&Kategori=16&Edisi=9, tarikh akses 24 April 2005.
Laqueur, Warter (1977), Terrorism, c. 4. Boston-Toronto: Little, Brown and Company.
Levi Silalahi (2004), “Abu Bakar Ba’asyir”, Tempo Interaktif, 17 April 2004.
O’Connor, Tom  (2004), “The Criminology of Terrorism: History, Law, Definitions, Typologies”, dlm. laman web: http://faculty.ncwc.edu/toconnor/ 429/429lect01.htm, tarikh akses 25 April 2004.
Ramakrishna, Kumar (2002), “Jemaah Islamiah: Aims, Motivations and Possible Counter-Strategies”, dalam http://www.ntu.edu.sg/idss/Perspective/research_ 050221.htm,  tarikh akses 24 April 2004.
_______ (2003), “US Strategy in Southeast Asia: Counter-Terrorist or counter-Terrorism?”, dlm. Kumar Ramakrishna and See Seng Tan (eds.), op. cit.
_______ (2004), “Constructing” The Jemaah Islamiyah Terrorist: A Preliminary Inqury”, (Kertas Kerja, Institute of Defence and Strategic Studies Singapore, No. 71, Oktober 2004).
Singh, Bilveer (2004), “The Emergence of the Jemaah Islamiyah Threat in Southeast Asia: External Linkages and Influences”, (Kertas Kerja pada workshop  “International Terrorism in Southeast Asia and Likely Implications for South Asia”,The Observer Research Faoundation, New Delhi, India, 28-29 April 2004).
Zulkifli Hj. Mohd. Yusoff & Fikri Mahmud (2004), “Islam dan Imej Keganasan: Satu Analisa Tentang Prinsip Jihad Dalam al-Qur’an”, (Kertas Kerja, Seminar Pemikiran Islam Antarabangsa, Fakulti Pengajian Islam, Universiti Kebangsaan Malaysia, 7-9 Disember 2004), dapat juga diakses dalam laman web http://fikrimahmud.tripod.com/artikel.htm.



*) Artikel ini diterbitkan pada Jurnal Usuluddin, Bil. 21, J. Akhir 1426H / Julai 2005, hh. 39-62.
[1] Warter Laqueur (1977), Terrorism, c. 4. Boston-Toronto: Little, Brown and Company, hh. 6-8; Tom O’Connor (2004), “The Criminology of Terrorism: History, Law, Definitions, Typologies”, dlm. Laman web: http://faculty.ncwc.edu/toconnor/429/429lect01.htm, tarikh akses 25 April 2004.
[2] Kelompok Jacobin mulanya berasal daripada the Club Breton di Versailles, kemudian diberi nama Jacobin setelah mendapat saran dari para paderi golongan Dominican atau Jacobin di Paris tahun 1789. Dominican adalah Ordo Praedicatorum (OP), dikenali juga sebagai Friars Preachers (Para Rahib Pembaca Khotbah), Black Friar, atau Jacobin, didirikan oleh St. Dominic di Italy tahun 1216 untuk membela dan memelihara kepercayaan Katholik Roma. Lihat Robert Allen (ed.) (1994), Chambers Encyclopedic English Dictionary. Cambridge: The University Press, h. 376 dan 668.
[3] Robespierre (Maximilien François Marie Isodore de) (1758-94), seorang pemimpin dalam revolusi Perancis. Ia adalah anggota kelompok Jacobin, dalam Majelis Kebangsaan (the National Assembly) terkenal sebagai seorang radikal dan ‘the incorruptible’ (tak dapat disogok). Ia terpilih sebagai wakil Paris dalam Konvensi Kebangsaan (the National Convention). Pada tahun 1793 ia bergabung dengan Komisi Keselamatan Rakyat (the Committee of Public Safety), tiga bulan kemudian menguasai negara dan memperkenalkan Pemerintahan Terror (the Reign of Terror). Ia menggunakan kekuasaan tanpa belas kasihan, akhirnya ia ditangkap dan bersama anggota-anggota setianya dan dijatuhi hukuman mati oleh tribunal revolusi. Lihat Robert Allen (ed.) (1994), op.cit., h. 1081.
[4] Lihat François Burgat (2003), Face to Face with Political Islam. London – New York: I.B. Tauris, h. xiii.
[5] Lihat Zulkifli Hj. Mohd. Yusoff & Fikri Mahmud (2004), “Islam dan Imej Keganasan: Satu Analisa Tentang Prinsip Jihad Dalam al-Qur’an”, (Kertas Kerja, Seminar Pemikiran Islam Antarabangsa, Fakulti Pengajian Islam, Universiti Kebangsaan Malaysia, 7-9 Disember 2004), dapat juga diakses dalam laman web http://fikrimahmud.tripod.com/artikel.htm.
[6] Jemaah Islamiyah berasal daripada bahasa Arab, Jama‘ah Islamiyyah yang berarti: kelompok  Islam atau Islamic Organisation.
[7] Abdullah Sungkar, lahir tahun 1937 di Solo, berasal dari keluarga ternama pedagang batik,  berketurunan Arab Yaman. Ia ikut mendirikan Pondok Ngruki (Pesantren al-Mukmin) di Solo, Jawa Tengah dan Pesantren Luqmanul Hakiem di Johor, Malaysia. Ditahan beberapa waktu tahun 1977 kerana mempengaruhi masyarakat untuk golput (golongan putih: tidak mengundi dalam pilihanraya), kemudian ditangkap bersama Abu Bakar Ba'asyir pada tahun1978 atas tuduhan subversif, kerana didakwa terbabit dengan kumpulan Komando Jihad/Darul Islam, dipenjarakan selama tiga setengah tahun. Beliau kemudian lari ke Malaysia tahun 1985, kerana dituduh menghasut orang ramai menolak Pancasila yang mengakibatkan terjadinya peristiwa Tanjung Priok tahun 1984. Setelah kejatuhan rejim Soeharto, Sungkar pulang ke Indonesia dan wafat di Indonesia pada bulan November 1999. Lihat “Indonesia Backgrounder: How The Jemaah Islamiyah Terrorist Network Operates”, ICG (International Crisis Group) Asia Report, No.43, 11 Disember 2002, h. 32.
[8] Abu Bakar Ba'asyir bin Abu Bakar Abud, biasa dipanggil Ustaz Abu, lahir di Jombang, 17 Agustus 1938, juga berketurunan Arab Yaman. Pendidikannya adalah mantan Siswa Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur (1959) dan alumni Fakultas Dakwah Universitas Al-Irsyad, Solo, Jawa Tengah (1963). Menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam Solo; menjawat jawatan Setiausaha Pemuda Al-Irsyad Solo; terpilih menjadi Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (1961), Ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam; memimpin Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Solo, Jateng (1972); lari ke Malaysia 1985, kembali ke Indonesia setelah Soeharto berundur. Ikut mendirikan Robitatul Mujahidin (RM, sekutu kumpulan pemisah dari Filipina, Indonesia, Malaysia, Myanmar, dan Thailand) di Malaysia akhir tahun 1999, dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) bulan Ogos 2000. Beliau kononnya menggantikan kepemimpinan Abdullah Sungkar di Jemaah Islamiyah setelah ia wafat tahun 1999, tetapi dianggap kurang radikal oleh anggota JI. Lihat Levi Silalahi (2004), “Abu Bakar Ba’asyir”, Tempo Interaktif, 17 April 2004 dan ICG Asia Report, No. 43, h. 32.
[9] Lihat “Jemaah Islamiyah in South East Asia: Damaged but Still Dangerous”, ICG Asia Report, No. 63, 26 Agustus 2003, h. 2. Pondok Pesantren Al-Mukmin didirikan pada 10 Mac 1972 oleh Abu Bakar Ba'asyir bersama Abdullah Sungkar, Yoyo Roswadi, Abdul Qohar H. Daeng Matase dan Abdul Qadir Baraja. Lokasi Pondok Pesantren ini terletak di Jalan Gading Kidul 72 A, Desa Ngruki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Ia menempati kawasan seluas 8.000 meter persegi, terletak 2.5 kilometer dari Solo. Kewujudan pondok ini adalah bermula dari kegiatan pengajian kuliah Zuhur di Masjid Agung Surakarta. Apabila jumlah jamaah semakin ramai, para mubaligh dan ustaz kemudiannya berusaha mengembangkan pengajian itu menjadi Madrasah Diniyah. Lihat  “Sekilas Ustadz Abu Bakar Ba'asyir”, http://www.majelis.mujahidin.or.id/index.php?option=com_content&task= view&id=144,  tarikh akses 01 Mai 2004.
[10] Dalam wawancaranya dengan Nida’ul Islam, Sungkar menjelaskan: “The embryo of this Jama'ah [JI], which is more well known as Darul Islam (DI/TII) has already declared its proclamation as the Islamic Nation of Indonesia (NII) on the 7th Agustus 1949 in Malangbong, West Java”. Lihat “Soeharto’s Detect, Defect and Destroy Policy Toward Islamic Movement”, dimuat dalam laman web http://www.islam.org.au/articles/17/indonesia.htm, tarikh akses, 24 April 2005.
[11] Lihat Barry Desker (2003), “The Jemaah Islamiyah (JI) Phenomenon in Singapore”, Contemporary Southeast Asia, Vol 25, No. 3, Disember 2003, h. 495.  Gerakan Darul Islam (DI) bermula sejak tahun 1947, dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Pada Januari 1948, Kartosuwirjo mendirikan Tentara Islam Indonesia (TII). Bulan Agustus 1949, Kartosuwirjo mengisytiharkan Negara Islam Indonesia (NII) yang kemudian dikenali juga sebagai Darul Islam (DI). Tahun 1950-an DI/NII melancarkan perang melawan pemerintah. Walaupun pemberontakan DI berpangkalan di Jawa Barat, namun kemudiannya ia juga tersebar ke Aceh tahun 1950, dipimpin oleh Tengku Muhammad Daud Beureueh, dan ke Sulawesi Selatan tahun 1953, yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Menjelang kematiannya pada 1962, Kartosuwirjo dilaporkan menunjuk Daud Beureueh sebagai Imam kedua NII. Pemimpin Darul Islam di Jawa Timur, Haji Ismail Pranoto (Hispran), pada  tahun 1973 atau 1974 ketika ke Aceh memohon restu daripada Daud Beureueh untuk menghidupkan kembali Darul Islam. Sebagai Imam, Daud Beureueh dilaporkan secara peribadi mendukung Hispran dalam membawa masuk Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar ke dalam Darul Islam pada tahun 1976, meskipun ia sendiri tidak pernah bertemu secara langsung dengan mereka. Lihat ICG Asia Report, No. 43, h. 9
[12] Lihat Sidney Jones (2003), “Jemaah Islamiyah: A Short Description”, Jurnal Kultur, Vol. III, No. 1, Th. 2003, http://www.pbbiainjakarta.or.id/kultur/?Berita=052403035304&Kategori=16&Edisi=9, tarikh akses 24 April 2005.
[13] Bilveer Singh (2004), “The Emergence of the Jemaah Islamiyah Threat in Southeast Asia: External Linkages and Influences”, (Kertas Kerja pada workshop  “International Terrorism in Southeast Asia and Likely Implications for South Asia”,The Observer Research Faoundation, New Delhi, India, 28-29 April 2004).
[14] Abdul Wahid Kadungga adalah menantu kepada Kahar  Muzakkar, pemimpin DI Sulawesi Selatan. Tahun 1971 ia pergi ke Eropa dan menjadi pelajar di Cologne, Jerman. Ia bergabung dengan PPME (Persatuan Pemuda Muslim se-Eropa). Dalam persatuan tersebut ia berkenalan dengan aktivis-aktivis pemuda dari Timur Tengah, dan menjadi lebih radikal. Kadungga merupakan seorang aktivis Islam antarabangsa. Menurut Suara Hidayatullah, kadang kala Kadungga berada di Belanda, kadang-kadang ia berbincang dengan pemimpin PAS (Partai Islam Se-Malaysia) di Kelantan atau Terengganu, dan kadang kala ia bertemu dengan Osam bin Laden di pedalaman Afghanistan. Lihat “Abdul Wahid Kadungga: Aktivis Internasional”, Suara Hidayatullah, Oktober 2000, http://www.hidayatullah. com/2000/10/siapa.shtml; Lihat juga ICG Indonesia Briefing, 8 Agustus 2002, h. 16.
[15] Mark Hong (2003), “Jemaah Islamiyah: The Threat and Responses”, (Kertas Kerja, Institute of Defence and Strategic Studies (IDSS), Nanyang Technological University, Singapore), h. 3. Lihat http://sam11.moe.gov.sg/racialharmony/download%5CJemaah_Islamiyah_final.pdf, tarikh akses 24 April 2005.  Pada awal tahun 1970-an, Jama‘ah Islamiyah (JI) Mesir sangat akrab dengan pemerintah. Presiden Anwar Sadat yang baru sahaja berkuasa membebaskan tokoh-tokoh Ikhwan al-Muslimin yang dipenjarakan dan memanfaatkan kelompok-kelompok Islam untuk melawan kelompok kuat yang menganut paham marksisme yang sebelumnya didukung oleh Presiden Gamal Abdul Nasser. Walaupun demikian, berbeda dengan pemerintah negaranya,  JI bertujuan untuk mendirikan Negara Islam. Sejak tahun 1970-an, Abdullah Sungkar sudah mengisyaratkan perlunya mendirikan organisasi (kumpulan) baru yang dapat bekerja lebih efektif guna mencapai sebuah negara Islam, dan organisasi tersebut ia namakan Jamaah Islamiyah (JI). Ada kemiripan antara JI Mesir dan JI Sungkar – Ba’asyir.  Unsur-unsur kesamaannya adalah perekrutan, pendidikan, ketaatan, dan jihad. Lihat International Crisis Group (ICG) Asia Report, No. 43, 11 Disember 2002, h. 5.
[16]Ibid.
[17] Martin van Bruinessen (2002), “Geneaologies of Islamic Radicalism in Post-Suharto Indonesia”, ISIM dan Utrecht University. Lihat http://www.let.uu.nl/~martin.vanbruinessen/personal, tarikh akses 24 April 2005.
[18] Komando Jihad adalah nama yang digunakan pemerintah Soeharto bagi gerakan Darul Islam yang diaktifkan semula pada pertengahan 1970-an. Gerakan ini sebetulnya diaktifkan oleh Ali Moertopo, panglima kanan Angkatan Darat (Tentera Darat) yang bertanggung jawab terhadap operasi rahsia, untuk menyingkirkan kelompok Muslim yang menentang Soeharto sebelum pilihanraya 1977. Pemerintah masa itu sering menggunakan istilah Komando Jihad dan Jemaah Islamiyah secara silih berganti. Untuk huraian lebih lanjut, lihat “Al-Qaeda in Southeast Asia: The case of the “Ngruki Network” in Indonesia”, ICG Indonesia Briefing, 8 Agustus 2002, hh. 5-8.
[19] ICG Asia Report, No. 43, 11 Disember 2002, h. 39.
[20] Pada tahun 1983, Sungkar dan Ba'asyir ditangkap. Mereka dituduh menghasut orang ramai untuk menolak Pancasila yang menyebabkan terjadinya peristiwa Tanjung Priok; melarang pelajarnya melakukan upacara hormat kepada bendera negara kerana menurut mereka ianya adalah perbuatan syirik; mereka bahkan dianggap bahagian daripada gerakan Hispran (Haji Ismail Pranoto). Oleh ini, keduanya dihukum 9 tahun penjara oleh mahkamah. Pada 11 Februari 1985 ketika kesnya dibicarakan masuk kasasi, Ba'asyir dan Sungkar dikenakan tahanan rumah, saat itulah Ba'asyir dan Sungkar melarikan diri ke Malaysia. Mereka menyeberang ke Malaysia melalui Medan. Lihat “Sekilas Ustazd Abu Bakar Ba’asyir”, op. cit.
[21] Lihat Greg Barton (t.t.), “Assessing the Threat of Radical Islamism in Indonesia”, dalam laman web http://www.sisr.net/apo/Islamism_in_Indonesia.rtf, tarikh akses 31 Mai 2005
[22] Abdul Qodir Baraja merupakan rakan Sungkar dan Ba’asyir sejak awal dan pernah mengajar di Pondok Ngruki. Ia mengarang sebuah buku “Hijrah dan jihad” yang ditulisnya pada pertengahan 1970-an, dan salah satu tuduhan yang dikenakan kepada Baraja adalah bahwa ia berusaha menghakis ideologi negara, Pancasila, pada masa Soeharto dengan cara menyebarkan buku tersebut. Baraja dipenjarakan dua kali kerana tindakan kekerasan. Pertama kerana tertuduh sebagai anggota kumpulan “Teror Warman” (julukan yang juga diberikan oleh pemerintah untuk jenayah yang dilakukan oleh anggota Jemaah Islamiyah). Mulai bulan Januari 1979, ia dipenjarakan tiga setengah tahun. Tindakan kekerasannya yang kedua yang menyebabkan dia dihukum penjara selama tiga belas tahun berkaitan dengan pengeboman pada sebuah gereja di Malang pada bulan Disember 1984, dan di  Borobudur pada 21 Januari 1985. Meskipun lahir di Sumbawa, Baraja menghabiskan sebagian besar zaman dewasanya di Lampung. Pada tahun 1997, setelah dibebaskan dari penjara, Baraja mendirikan organisasi baru yang bertujuan untuk mengembalikan khilafah Islamiyah. Organisasi itu bernama Khilafatul Muslimin, berpusat di Teluk Betung, Lampung, dan cawangannya ialah di kampung halaman Baraja di Taliwong, Sumbawa. Pokok-pokok pemikiran Baraja disajikan secara umumnya dalam sebuah buku yang diterbitkan tahun 2001 bertajuk Gambaran Global Pemerintahan Islam  (diterbitkan oleh penerbit Rayyan al Baihaqi Press, Surabaya). Buku tersebut menyeru penerapan  syari‘ah Islam di bawah pemerintahan yang dipimpin wakil Allah bernama Ulil Amri. ICG Asia Report, No. 43, 11 Disember 2002, h. 16; dan ICG Indonesia Briefing, 8 Agustus 2002, h. 8.
[23] ICG Asia Report, No. 43, 11 Disember 2002, h. 8.
[24] Untuk huraian lebih terperinci lihat “Al-Qaeda in Southeast Asia: The case of the “Ngruki Network” in Indonesia”, ICG Indonesia Briefing, 8 Agustus 2002, h. 15.
[25]Tempo, 9 November 2002; Kumar Ramakrishna (2004), “Constructing” The Jemaah Islamiyah Terrorist: A Preliminary Inqury”, (Kertas Kerja, Institute of Defence and Strategic Studies Singapore, No. 71, Oktober 2004), h. 10.
[26] Bruinessen (2002), op. cit.
[27] Greg Barton (t.t.), op. cit.
[28] ICG Asia Report, No. 63, 26 Agustus 2003, h. 4.
[29] Lihat Sidney Jones (2003), “Jemaah Islamiyah: A Short Description”, Jurnal Kultur, Vol. III, No. 1, tahun 2003, dalam http://www.pbbiainjakarta.or.id/kultur/?Berita=052403035304&Kategori= 16&Edisi=9, tarikh akses 24 April 2005.
[30] Abdul Aziz (alias Imam Samudra) adalah dituduh sebagai perancang utama pengboman Bali, ditangkap 21 November 2002. Lahir di Serang, Banten, Jawa bahagian Barat. Beliua lulus dengan predikat salah satu lulusan terbaik tahun 1990 dari Madrasah Aliyah Negeri (MAN) I di Serang. Pada 1988, ia menjadi ketua HOSMA (Himpunan Osis Madrasah Aliyah). Dalam himpunan tersebut beliau terkenal sebagai aktivis agama dan bersifat radikal kerana didikan salah seorang guru pada madrasahnya, bekas pemimpin Darul Islam, Kyai Saleh As'ad. Abdul Aziz berangkat ke Malaysia tahun 1990. Ibu-bapanya, Ahmad Sihabudin dan Embay Badriyah, merupakan pengikut PERSIS. ICG Asia Report, No. 43, 11 Disember 2002, h. 34.
[31] Ibid,, h. 27.
[32] Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno tahun 1960-an, kerana sebahagian daripada pemimpinnya (termasuk Natsir) berkonfrontasi dengan Soekarno dan terlibat dalam pemberontakan PRRI di akhir tahun 1950-an. Setelah kekuasaan dipegang oleh Soeharto, Masyumi tetap dilarang bergerak dan bekas pemimpin-pemimpinnya tidak dibenarkan berpolitik. Ketika itu Natsir dan kawan-kawannya beralih ke bidang dakwah, mereka mendirikan DDII. “Before we used politics as a way to preach, now we use preaching as a way to engage in politics” (Dulu kita berpolitik sebagai cara untuk berdakwah, sekarang kita berdakwah sebagai cara untuk berpolitik), kata Natsir. Lihat Ramakrishna (2004), op. cit., h. 5.
[33] Patut diingat bahwa pemimpin-pemimpin DI, Kartosuwirjo (Jawa Barat), Kahar Muzakkar (Sulawesi Selatan) dan Daud Beureueh (Aceh), adalah berasal dari kalangan Masyumi. Tetapi berbeza dengan mereka, Natsir dan rakan-rakannya lebih bersifat moderat dan demokratik, ia memilih memperjuangkan Islam sebagai dasar negara secara demokratik, melalui konstitusi (parlimen).
[34] DDII juga menjadi saluran utama di Indonesia guna memberikan biasiswa kepada para pelajar untuk melanjutkan pelajaran ke Timur Tengah. Natsir juga yang menganjurkan penubuhan LIPIA (Lembaga Pengetahun Islam dan Arab) di Jakarta tahun 1980. LIPIA merupakan cawangan Universiti Imam Muhammad bin Saud di Riyadh. Kurikulum dan buku-buku rujukannya berasal dari Arab Saudi. Ramakrishna (2004), op. cit., h. 6.
[35] Lihat Bruinessen (2002), op. cit.
[36] Greg Barton (t.t.), op. cit.
[37] Ali Gufron (alias Muklas/Muchlas alias Huda bin Abdul Haq), berasal dari Lamongan, Jawa Timur, abang kepada Amrozi, lulusan Pondok Ngruki tahun 1982, veteran perang Afghanistan, penduduk tetap Malaysia. Beliau mengajar di Pesantren Luqman al-Hakiem di Johor. Ia berkahwin dengan Farida, saudara perempuan Nasir Abbas dan Hashim Abbas yang juga anggota JI. Beliau kononnya mengambil alih tanggungjawab operasi JI di Singapura dan Malaysia daripada Hambali ketika pihak antarabangsa berusaha untuk menangkap Hambali. ICG Asia Report, No. 43, 11 Disember 2002, h. 35.
[38] Lihat “Jemaah Islamiyah in South East Asia: Damaged but Still Dangerous”, ICG Asia Report, no. 63, 26 Agustus 2003, h. 3.
[39] ICG Asia Report, no. 43, 11 Disember 2002, h. 5
[40] Kepada Nida’ul Islam Sungkar mengatakan: “Jama'ah Islamiyyah which has the purpose of establishing Dawlah Islamiyyah by applying the strategies of Eeman [Iman], Hijrah and Jihad”. Lihat “Soeharto’s “Detect, Defect and Destroy Policy Toward Islamic Movement”, op. cit.
[41] Pola perjuangan yang menerapkan konsep hijrah dan jihad banyak digunapakai oleh gerakan-gerakan Islam. Kelompok-kelompok tersebut membina perkampungan tersendiri dan menganjurkan kepada para pengikutnya untuk berhijrah ke sana, meninggalkan lingkungan masyarakat yang dianggap jahiliyah. Kemudian mereka mengembelingkan kekuatan untuk melancarkan perang (jihad) melawan pemerintah. Kelompok Jama‘ah Islamiyyah dan Takfir wa al-Hijrah di Mesir, misalnya, menerapkan pola seperti ini. Perjuangan Sungkar dan Ba’asyir yang mendapat tantangan dari pemerintah Indonesia pada tahun 1970-an dan awal 1980-an, kemudian mereka berhijrah ke Malaysia, setelah itu kembali semula ke Indonesia untuk melancarkan jihad, juga mencerminkan perkara di atas.
[42] Ramakrishna (2004), op. cit., hh. 8-9. Menurut Assegaff, Ba’asyir adalah pencetus gerakan usrah tersebut. Lihat FarhaAbdul Kadir Assegaff (1995) , “Peran perempuan Islam (penelitian di Pondok Pesantren Al Mukmin, Sukoharjo, Jawa Tengah)”, (Thesis S-2 (MA), Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1995), h. 196.
[43] Lihat Martin van Bruinessen (2003),“Post-Suharto Muslim Engagements with Civil Society and Democratisation”, (Kertas Kerja, the Third International Conference and Workshop “Indonesia in Transition”, diselenggarakan oleh the KNAW dan Labsosio, Universitas Indonesia, 24-28 Agustus, 2003).
[44] Martin van Bruinessen (t.t.), “The Violent Fringers of Indonesia’s Radical Islam”, artikel  pada laman web http://www.let.uu.nl/~martin.vanbruinessen/personal/publications/violent_fringe.htm, tarikh akses 29 Julai 2004.  Kajian tentang peranan usrah dalam gerakan penentangan terhadap pemerintah boleh dirujuk pada, misalnya Abdul Syukur (2001), “Gerakan Usroh di Indonesia: Kasus Peristiwa Lampung 1989”, (Tesis S-2 (M.A), Jurusan Sejarah, Universitas Indonesia, 2001). Patut diingat bahwa tidak semua gerakan usrah berorientasikan politik, sebahagian daripadanya hanya menekankan pada pemurnian moral dan peningkatan pengetahuan dan penghayatan agama bagi anggota-anggotanya. Seperti dijelaskan Bruinessen: “What came to be known as Indonesia’s Usroh movement was far from homogeneous, and did not adopt the same combination of Brotherhood ideas. Most of the student groups were quietist and apolitical; they were primarily concerned with individual moral self-improvement and with the Usroh as a moral haven in an immoral world. But there were also Usroh groups affiliated with such NII/TII leaders as Abu Bakar Ba’asyir, which believed in the necessity of establishing an Islamic state and imposing the sharia on fellow Muslims”. Lihat  Bruinessen (2002), op. cit.
[45] “Indonesia Backgrounder: Jihad in Central Sulawesi”, ICG Asia Report, No.74, 3 Februari 2004, h. 18.
[46] “These three elements of strength are essential in order to establish Dawlah Islamiyyah by means of Jihad. These amongst others, form points which are deemed vital by Jama'ah Islamiyyah, whereas other Jama'ah's ignore and generally disregard these strengths”, kata Sungkar. Lihat “Soeharto’s “Detect, Defect and Destroy Policy Toward Islamic Movement”, op. cit.
[47] ICG Asia Report, No. 63, 26 Agustus 2003, h. 11.
[48] Rohan Gunaratna (2003a), Inside Al Qaeda: Global Network of Terror, c. 2. London: Hurst & Company, h. 194.
[49] Hambali, atau Riduan Isamuddin, nama aslinya Encep Nurjaman, anak yang kedua daripada sebelas adik beradik, lahir pada 4 April 1966, di Cianjur, Jawa Barat. Ia pergi ke Afghanistan tahun 1983, ikut berperang melawan Soviet Union. Antara tahun 1987 dan 1990, Hambali berjumpa dengan Usamah bin Ladin. Seminggu setelah pulang ke kampung halamannya, ia pergi ke Malaysia tahun 1991, kemudian menjadi penduduk tetap di sana. Hambali berjumpa dengan Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir di Malaysia. Ia berkahwin dengan Noralwizah Lee Abdullah, warga Malaysia berketurunan Cina, yang pernah belajar di sekolah agama Luqmanul Hakim, yang didirikan oleh anggota JI di Ulu Tiram, Johor. Hambali ditangkap bersama isterinya di Thailand pada 11 Agustus 2003. Untuk mengetahui riwayatnya lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Hambali.
[50] Abdullah Anshori (Abu Fatih nama perangnya, alias Ibnu Thoyib), berasal dari Pacitan, Jawa Timur, saudara kandung Abdul Rochim, guru di pondok Ngruki. Ia dituduh sebagai salah seorang pemimpin utama JI. Lari ke Malaysia Juni 1986, mengikuti Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir. Ikut merekrut sukarelawan untuk dikirim ke Afghanistan. Ia sendiri mendapat latihan di Mindanao.
[51] Mustopa (Mustafa, alias Abu Thalout, nama aslinya Pranata Yudha), pernah belajar di bidang kedoktoran di Semarang sebelum berpindah ke Universitas Gajah Mada di Yogyakarta, untuk mempelajari sains kedokteran hewan (veterinary), tidak sempat menamatkan pengajiannya. Ia adalah salah seorang veteran perang Afghanistan, kemudian menjadi instruktur  kem latihan di Mindanao.
[52] “Jemaah Islamiyah in South East Asia: Damaged but Still Dangerous”,ICG Asia Report, No. 63, 26 Agustus 2003, h. 11. Abdul Rahim adalah saudara Abdullah Anshori (alias Abu Fatih, atau Ibnu Thoyib), ia merupakan salah seorang guru di Pondok Ngruki.  Di Australia JI mempunyai cabang di Perth, Melbourne and Sydney, JI mendirikan kem  latihan dan merekrut anggota dari kalangan mahasiswa. Dilaporkan bahwa antara tahun 1991 dan 1998, Abu Bakar Ba’asyir mengunjungi Australia sebanyak 11 kali, hal ini menunjukkan pentingnya kedudukan Australia bagi JI. Lihat Mark Hong (2003), op. cit., h. 4.
[53] Secara militer JI mempunyai struktur yang teridiri daripada mantiqi (brigades), waklah (batatallions), khatibah (companies), qirdas (platoons), dan fi’ah (squads). Lihat ICG Asia Report, No. 63, 26 Agustus 2003, h. 11.
[54] Fathur Rahman al-Ghozi, (alias Mike), lahir 17 Februari 1971 di Kebonzar, Madiun, Jawa Timur. Ayahnya, Zainuri, pernah dihukum penjara kerana dituduh mempunyai kaitan dengan Komando Jihad. Al-Ghozi lulus dari Pondok Ngruki tahun 1989, kemudian belajar di Ma’had al-Maududi (1990-95), Pakistan. Ketika itulah ia bertemu dengan dua orang anggota JI, Usaid dan Jamaludin, kedua-duanya warga Indonesia, dan langsung masuk JI. Al-Ghozi pergi ke Turkum, Pakistan, dan sempadan Afghanistan untuk mendapat latihan di kem al-Qaeda antara tahun 1993 dan 1994. Ia berkebolehan sebagai instruktor al-Qaeda dalam membuat bom dan bertugas merekrut anggota baru di Asia Tenggara untuk bergabung dengan al-Qaeda. Ia juga bertugas melatih anggota-anggota JI baru yang berasal dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura di kem latihan MILF, Mindanao. Al-Ghozi pernah menetap di Malaysia dan beristerikan wanita Malaysia. Al-Ghozi mati ditembak ketika pertempuran dengan pasukan Filipina di Pigcawayan, Cotabato Utara, Filipina, pada 12 Oktober 2003.
[55] Zulkifli, juga dikenal sebagai Julkipli, Gul Kipli, Jul, Geol, Zol, Jol, Jabbar dan (mungkin) Badrudin dan Bro, lulusan Pondok Ngruki dan merupakan kadet angkatan pertama warga Indonesia yang mendapat latihan di kem Hudaibiyah pada bulan September 1998, kemudian ditunjuk sebagai pemimpin (qa’id) Wakalah Hudaibiyah pada bulan Julai 2000. Ia merupakan arkitek beberapa peristiwa pengeboman di Mindanao sejak dari tahun 2000, sehingga ia ditahan oleh pihak berkuasa Malaysia di Sabah pada bulan September 2003.
[56] Lihat “Southern Philippines Backgrounder: Terorism and the Peace Process”, ICG Asia Report,  No. 80, 13 Julai 2004, h. 18 dan seterusnya.
[57] Rohan Gunaratna (2003b), “Understanding Al Qaeda and Its Network in Southeast Asia”, dlm. Kumar Ramakrishna and See Seng Tan (eds.), After Bali: The Threat of Terrorism in Southeast Asia. Singapore: World Scientific & Institute of Defence and Strategic Studies, h. 127.
[58] ICG Asia Report, no. 43, 11 Disember 2002, h. 38
[59] Kumar Ramakrishna (2003), “US Strategy in Southeast Asia: Counter-Terrorist or counter-Terrorism?”, dlm. Kumar Ramakrishna and See Seng Tan (eds.), op. cit., h. 311.
[60] Gunaratna (2003a), op. cit., h. xxxix, khususnya nota no.60.
[61] Greg Fealy (2004), “Islamic Radicalism in Indonesia: The Faltering Revival?”, Southeast Asian Affairs 2004 (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies,2004), hh. 104-121, khususnya h. 113.
[62] Irfan Awwas Suryahardy. Lahir di desa Tirpas-Selong, Lombok Timur, pada 4 April 1960. Pernah belajar di pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Menjadi redaktur surat kabar ar-Risalah di awal 1980-an, mendirikan organisasi aktivis Badan Komunikasi Pemuda Mesjid (BKPM). Ditangkap atas tuduhan subversi dan dijatuhi hukuman penjara 13 tahun pada 8 Februari 1984, ia menjalani hukuman hanya sembilan tahun. Irfan adalah Ketua Eksekutif Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Ia  juga merupakan saudara kandung kepada  Fikiruddin Muqti (alias Abu Jibril, alias Mohammad Iqbal bin Abdurrahman).
[63] Mursalin Dahlan, ikut mendirikan MMI, aktif dalam Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), bekas aktivis mahasiswa pada Institut Teknologi Bandung, dipenjara selama enam bulan menjelang sidang khusus MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) tahun 1978, dipenjarakan bersama dengan tokoh Darul Islam Jawa Barat, Panji Gumilang (alias Abu Toto). Panji kemudian mendirikan pesantren Al-Zaitun atau Al-Zaytun di Indramayu, Jawa Barat; sekolah agama yang sangat makmur, dilengkapi sarana yang canggih dan kampus yang sangat luas.  Mursalin Dahlan mengepalai cawangan Partai Umat Islam (PUI) di Jawa Barat.
[64] Lihat “Confessions of an al-Qaeda Terorist”, Time, 23 September 2002. Omar al-Faruq (alias Moh. Assegaf) diduga berkebangsaan Kuwait (tapi disangkal oleh pemerintah Kuwait) merupakan pelaksana senior al-Qaeda yang menetap di Indonesia selama beberapa tahun dan aktif membentuk atau mendukung sel-sel JI di Indonesia dan Filipina. Sejak bulan Disember 2002, ia menjadi tahanan AS, ditahan di Pangkalan Udara Bagram di Afghanistan. 
[65] Lihat ICG Asia Report, No. 43, 11 Disember 2002, hh. 5-6.
[66] Ada anggapan di kalangan sarjana bahwa ideologilah yang menjadi penyebab utama anggota JI bersifat radikal. Lihat, misalnya, Kumar Ramakrishn (2002), “Jemaah Islamiah: Aims, Motivations and Possible Counter-Strategies”, http://www.ntu.edu.sg/idss/Perspective/research_ 050221.htm,  tarikh akses 24 April 2004.
[67] Lihat Nazih N. Ayubi (1994), Political Islam: Religion and Politics in the Arab World, c. 3. London and New York: Routledge, h. 68.
[68] Dalam salah satu Risalahnya, Hasan al-Banna menjelaskan sikap terhadap pemerintah: “sikap kita terhadap mereka [pemerintah] ialah sebagai penasihat yang bersikap belas kasihan, sentiasa mengharapkan kerajaan-kerajaan ini akan menemui jalan yang betul dan mendapat taufiq,  mengharapkan Allah akan memperbaiki kehancuran yang ada ini melalui mereka”. Lihat Hasan al-Banna (1984), Risalah Muktamar Keenam Ikhwan Muslimin. Alias Othman (terj.). Kuala Lumpur: Pustaka Salam, h. 28. Adapun jalan yang ditempuh oleh Ikhwanul Muslimin dan prinsip yang dipeganginya dijelaskan: “Tarbiyyah adalah jalan kita dan menjauhi kekerasan adalah prinsip kita”. Lihat Jum’ah Amin Abdul Aziz (1999), Tsawabit dalam Manhaj Gerakan Ikhwan. Tate Qomaruddi (terj.). Bandung: Asy Syamil Press & Grafika, h. 31.
[69] Lihat “Indonesia Backgrounder: Why Salafism and Terrorism Mostly Don't Mix”, ICG Asia Report, No. 83, 13 September 2004.
[70] Abdullah Azzam mengatakan:
Many Muslims know about the hadith in which the Prophet ordered his his companions not to kill any women or children, etc, but very few know that there are exceptions to this cases. In summary, Muslims do not have to stop an attack on mushrikeen [polytheists], if non-fighting women and children are present. But, Muslims should avoid the killing of children and non-fighting women, and should not aim at them…Islam does not urge its followers to kill anyone amongst the kufar except the fighters, and those who supply mushrikeen and other enemies of the Islam with money or advice, because the Qur’anic verse says: “And fight in the cause of Allah those who fight you.
Lihat Gunaratna (2003a), op. cit., h. 22.
[71] Menurut Garaudy, fundamentalisme merupakan fenomena yng tidak hanya terbatas pada agama sahaja; terdapat pula fundamentalisme dalam bidang politik, sosial dan budaya. Lihat Azyumardi Azra (1996), Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta: Penerbit Paramadina, h. 108.
PUNCA PERSELISIHAN UMAT ISLAM MALAYSIA:
 MASALAH DEFINISI

Oleh : Fikri Mahmud


Ada satu hal yang menarik yang berlaku pada Umat Islam Malaysia kebelakangan ini, yaitu masalah definisi (tarif). Umat Islam di Negara ini belum sepakat dalam menentukan definisi Negara Islam, Jihad, Umat Islam ,Syariat Islam, Pemimpin Islam, dan sebagainya. Definisi adalah dasar tempat berpijak dalam menentukan kebijaksanaan yang akan diambil kemudian. Kesamaan definisi akan membawa kepada kesaman tujuan dan strategi perjuangan., Sebaliknya, perbedaan definisi akan menimbulkan perbedaan tujuan dan kelainan perilaku, - bahkan perpecahan.

Jalaluddin Rakhmat, cendekiawan muslim Indonesia, pernah menulis tentang Islam di Indonesia: Masalah Definisi (dlm.. M. Amien Rais, ed., Islam di Indonesia Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, Jakarta: CV. Rajawali, 1986). Rakhmat melihat bahwa salah satu punca bagi perpecahan umat Islam di Indonesia adalah karena perbedaan definisi. Apa yang terjadi di Indonesia boleh jadi berlaku pula di negara lainnya, termasuk Malaysia. Tulisan ini hendak meninjau masalah Umat Islam di Malaysia dari satu segi: Definisi Situasi. Sebagian besar dari tulisan ini akan saya pinjam dari tulisan Rakhmat diatas. Saya akan mengadaptasikannya dengan keadaan Umat Islam disini. Tetapi, sebelum mengulas lebih jauh, terlebih dahulu kita definisikan istilah   kunci yang dipergunakan dalam tulisan ini, yaitu definisi situasi.

DEFINISI SITUASI

Definisi situasi dipinjam daripada sosiolog William Isaac Thomas (1863-1947)- menunjukkan persepsi seseorang dan penafsirannya tentang faktor-faktor sosial yang terjadi pada masa tertentu. Setiap hari kita berhadapan dengan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi kita;, sama ada berupa konsep (seperti: kata jihad, negara islam, syariat islam, dan sebagainya), mahupun benda-benda konkrit (seperti: mesjid, sekolah, surat kabar, dan lain-lainnya). Kepada faktor-faktor sosial itu kita memberikan penafsiran atau makna.

Anda mungkin memandang jihad sebagai peperangan melawan orang kafir, sedangkan kelompok militan mungkin memandangnya sebagai usaha untuk menghancurkan sistem kezaliman dan kemaksiatan, sementara kelompok sufi memandang jihad sebagai upaya untuk menaklukkan hawa nafsu. Tetapi, apa kata si Fulan? Usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Melayu adalah jihad. Bagi anda masjid mungkin sahaja tempat untuk bersholat, berzikir, dan berdoa, sedangkan Sidi Gazalba memandangnya sebagai pusat kebudayaan islam. Tetapi bagi si Fulan, masjid adalah tempat yang efektif untuk menghasut jemaah supaya membenci pemerintah, sehingga para muballigh perlu diawasi, demikianlah seterusnya. Faktor-faktor sosial itu kita sebut situasi, dan penafsirannya kita sebut definisi situasi.

Didalam Al-Quran disebut tiga kali ayat Ma Lakum Kaifa Tahkumun (Q.S.10:35; 37:154; 68:36) yang diertikan oleh Al-Quran dan Terjemahannya: Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?. Kata Tahkumun bererti mengambil keputusan, mengeluarkan pendapat, memberikan penilaian, menjatuhkan vonis (hukuman), menetapkan norma, memiliki kekuasaan, memerintah, mengendalikan (Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic). Kata Tahkumun merentangkan makna definisi situasi.

DEFINISI SITUASI DAN PERILAKU KITA

Perilaku kita ditentukan oleh definisi situasi kita. Suatu peristiwa atau konsep akan menimbulkan perilaku yang berbeda, bila didefinisi-situasikan secara berlainan. Jika seorang muslim menganggap negaranya sebagai negara islam, bahkan sebagai keadaan yang terbaik bagi umat islam, maka ia akan mendukungnya dengan sepenuh hati. Apabila ia memandangnya sebagai negara yang sedang memperbaiki diri menuju tahap yang ideal sesuai dengan ajaran islam, ia akan mendukungnya, tetapi juga berusaha memperbaiki apa-apa yang kurang didalamnya. Bayangkan apabila ia menganggap negaranya sebagai sistem taghut yang zalim.

Apabila si Fulan kita pandang sebagai musuh, kita akan memperlakukannya sebagai musuh, seluruh tubuh dan jiwa kita akan bereaksi kepadanya seperti terhadap musuh. Fulan itu sendiri boleh jadi seorang sahabat yang baik, yang tidak bermaksud jahat, tetapi bila ia kita definisikan sebagai musuh, akibatnya pada perilaku kita betul-betul seperti musuh yang sebenarnya. Pendek kata If human beings define situations as real, they are real in their consequences, kata W.I. Thomas.

Setiap orang tidak mungkin mendefinisikan situasi secara sepakat. Pemberian makna secara sepakat tidak pernah ada. Namun demikian interaksi sosial baru terjadi apabila di antara anggota masyarakat ada kesatuan definisi untuk situasi-situasi tertentu (shared definition of situation). Kita akan menumbuhkan saling pengertian bila kita mempunyai peta kognitif yang sama untuk faktor-faktor sosial yang mempengaruhi kita semua. Dalam kaitannya dengan islam, kita harus mempunyai penafsiran yang sama tentang komponen-komponen utama yang membentuk umat islam. Penafisran itu tidak perlu sepenuhnya sama, tetapi secara keseluruhan menunjukkan kesamaan. Setidak-tidaknya ada tiga komponen utama yang harus didefinisikan secara sama; umat islam, syariat islam, dan pemimpin islam. Definisi kita tentang tiga komponen itu akan menentukan perilaku kita sebagai anggota masyarakat.

DEFINISI UMAT ISLAM

Sekurang-kurangnya ada lima definisi umat islam: definisi nominal, ritual, intelektual, sosial, dan ideologikal.

Pertama, umat islam didefinisikan sebagai himpunan orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai pemeluk agama islam. Definisi ini kita sebut definisi nominal. Dengan definisi ini Umat Islam di Malaysia jumlahnya banyak.

Kedua, Umat Islam didefinisikan sebagai himpunan orang-orang yang sudah menjalankan ritus-ritus keagamaan, atau upacara-upacara ibadat, seperti: shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya. Definisi ini kita sebut definisi ritual. Dengan definisi ini jumlah umat Islam sudah mulai menurun dan berkurang.

Ketiga, Umat Islam adalah himpunan orang-orang yang memiliki pengetahuan yang memadai, atau lebih dari itu, tentang ajaran Islam. Definisi ini kita sebut definisi intelektual. Dengan definisi ini jumlah Umat Islam semakin berkurang saja.

Keempat, Umat Islam adalah himpunan orang-orang yang berusaha mengatur perilakunya ditengah-tengah masyarakat sesuai dengan ajaran Islam, seperti: dalam berpakaian, makan-minum, bertetangga, berniaga, bergaul, dan sebagainya. Definisi ini kita sebut definisi sosial. Dengan definisi ini jumlah Umat Islam semakin sedikit.

Kelima, Umat Islam adalah himpunan orang-orang yang terpaut secara ideologi dengan ajaran Islam. Mereka memandang Islam sebagai way of life yang harus dijadikan dasar dalam memandang persoalan-persoalan dunia. Mereka sering disebut sebagai kaum fundamentalis, atau orang-orang yang menampilkan Islam sebagai sistem alternatif. Mereka bercita-cita untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar, atau menegakkan syariat Islam. Definisi ini kita sebut definisi ideologikal. Dengan definisi ini, Umat Islam hanya sekelompok kecil saja.

Apa pengaruh definisi-definisi diatas? Ketidak-jelasan definisi yang dipergunakan akan menimbulkan kesalahpahaman dalam memandang Umat Islam. Ada yang heran, mengapa ada orang yang mengaku muslim, tetapi perangainya lebih buruk daripada non-muslim. Ada pula yang takjub, mengapa orang yang membeli nombor-nombor ramalan (perjudian) banyak yang memakai kopiah putih atau bertudung. Ini disebabkan oleh karena menggunakan dua definisi sekaligus; nominal dan sosial.

Hubungan antara Umat Islam dengan pemerintah pun diwarnai juga oleh definisi yang dipergunakan. Kelompok yang mempergunakan definisi nominal cenderung kompromistik, semua yang mengaku beragama Islam dapat disebut Umat Islam dan dapat diperlakukan sebagai Umat Islam. Kelompok yang mendefinisikan Umat Islam secara ideologikal, cenderung bersikap non-kompromistik, ekstrim, radikal, bahkan mereka dapat mengkafirkan golongan Islam yang tidak sefaham dengan mereka. Sebagian memandang pemerintah sekarang dengan definisi nominal atau ritual, maka mereka menilai bahwa pemerintah yang ada saat ini adalah pemerintah Islam. Sebagian lagi memandang pemerintah sekarang merusak Umat Islam dan syariat Islam (dengan menggunakan definisi sosial atau ideologikal).Perbedaan definisi yang dipergunakan akan mendorong kelompok pertama merangkul dan juga dirangkul pemerintah, dan kelompok kedua menentang, bahkan memusuhi pemerintah, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok militan.

DEFINISI SYARIAT ISLAM

Perbezaan dalam mendefinisikan Umat Islam diatas, mempunyai kaitan dengan definisi syariat Islam. Sebahagian Umat ada yang mendefinisikan syariat Islam dengan menekankan kepada aspek-aspek ritual, atau ibadah saja, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagaianya. Sebahagian lagi ada yang memandang syariat Islam dari segi mistikal, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sufi. Kelompok lain ada pula yang memasukkan budaya dan tradisi tempatan kepada syariat Islam, yang disebut dengan bidah dan khurafat. Ada diantara Umat ada yang memandang syariat Islam dari segi ritual dan sosial saja, ada pula yang mendefinisikannya lebih komprehensip, dengan memasukkan unsur ritual, sosial dan ideologikal. Kelompok terakhir ini biasanya mengumandangkan slogan Islam kaffah .

Untuk mengetahui definisi mana yang lebih benar memang dapat merujuk kepada acuan normatif, tetapi kita tidak membicarakan definisi denotatif (seperti yang terdapat dalam buku-buku keislaman), yang kita bicarakan adalah definisi perseptual; definisi situasi. Jadi dari dua definisi diatas (Umat Islam dan syariat Islam) dapat kita pahami mengapa terjadi perdebatan antara pemerintah dengan PAS dalam menentukan apakan Malaysia sudah boleh disebut negara Islam, atau belum. Masing-masing kelompok menggunakan definisi yang berbeza dengan definisi yang digunakan oleh kelompok lainnya. Ada yang melihat bahawa negara Islam ialah negara yang memberlakukan hukum Islam sebagai hukum negara, dengan erti kata kekuatan dan kekuasaan negara berada pada Umat Islam. Ada pula yang berpendapat bahawa negara Islam itu adalah negara atau pemerintahan yang penduduknya mayoriti beragama Islam, sekalipun kekuasaan negara berada bukan pada Umat Islam. Dan ada pula yang berpendapat bahawa negara Islam adalah negara atau pemerintahan dimana Umat Islam merupakan minoriti, tetapi mereka diberi kebebasan untuk menegakkan syiar Islam, sekalipun kekuasaan negara berada ditangan non-muslim. Banyak lagi definisi-definisi yang tidak perlu kita tuliskan disini.

Pendefinisian Umat Islam dan syariat Islam adalah masalah persepsi, jadi tidak dapat diselesaikan melalui rujukan-rujukan normatif (misalnya Al-Quran dan Sunnah). Menurut istilah ushul fiqh, persepsi adalah masalah ijtihadiah. Tetapi, ijtihad siapa yuang harus diikuti? Apakah setiap orang boleh menjadi mujtahid dan mengikuti ijtihadnya sendiri? Atau kita memerlukan institusi yang ijtihadnya mengikat kita semua? Menetapkan mujtahid yang akan diikuti itu, bererti menetapkan siapa pemimpin Islam.

DEFINISI PEMIMPIN ISLAM

Setidak-tidaknya ada tiga cara dalam mendefiniskan pemimpin Islam. Pertama, pemimpin Islam adalah pemimpin masyarakat yang beragama Islam, paling tidak secara nominal atau ritual. Definisi ini seperti definisi Umat Islam yang nominal, dan pemimpin dengan definisi ini biasanya disebut umara atau zuama. Kedua, pemimpin Islam adalah para ulama yang mempunyai pengikut ditengah-tengah masyarakat. Ulama itu umumnya didefinisikan secara intelektual. Dan ketiga, pemimpin Islam ialah orang-orang yang menduduki pimpinan organisasi-oraganisasi (politik atau massa) yang berasaskan Islam, atau setidak-tidaknya mengaku memperjuangkan aspirasi mat Islam. Definisi ini kita sebut definisi posisional.

Definisi mana yang akan kita gunakan?  Bila kita menggunakan definisi pertama, maka pemimpin-pemimpin negara yang beragama Islam dapat kita sebut pemimpin Islam. Janganlah kita kairan jika Dr. Mahathir Mohammad dianggap pemimpin Islam oleh banyak negara didunia, walaupun dikafirkan oleh sebahagian kelompok dinegaranya sendiri. Menggunakan definisi kedua bukan tanpa risiko, kerana mengenai pengertian ulama itu sendiri sekarang sudah mengalami penurunan makna. Kadang-kadang muballigh yang pandai berceramah dianggap juga ulama. Kini kita bedara pada masa seperti yang dikatakan oleh Rasulullah kepada sahabatnya: Kamu berada dalam satu zaman yang banyak fuqohanya dan sedikit khutobanya, sedikit yang meminta dan banyak yang memberi; kelak akan ada satu masa, khutobanya banyak, fuqohanya sedikit; sedikit yang memberi, banyak yang meminta (At-Thabrani).

Siapa yang berhak disebut ulama dan bagaimana perwatakannya, masih belum disepakati. Katakanlah ulama itu mesti faqih, mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang ajaran Islam, mampu berijtihad, ia harus zahid, abid, mukhlis dan sebagainya. Tetapi, adakah di negara ini ulama yang diakui oleh sumua pihak? Sebut saja mufti kerajaan dan anggota-anggota majelis fatwa. Siapakah yang melantik mereka? Adakah mereka dipilih oleh ulama-ulama yang ada di negara ini, atau ditunjuk berdasarkan kemahuan pemerintah. Di beberapa negara Islam umumnya yang dilantik menjadi anggota majelis fatwa itu adalah orang-orang yang dekat dengan pemerintah, akibatnya fatwa seringkali keluar sesuai dengan definisi situasi pemerintah dari pada yang dihajatkan oleh Umat.

Akhirnya kita menilik kepada definisi ketiga, apakah orang-orang yang menduduki posisi pimpinan dalam organisasi (politik atau massa) yang beragama Islam dapat dianggap sebagai pemimpin Islam? Mungkin mereka dapat dikatakan sedemikian, disamping menduduki posisi teratas dalam parti atau organisasi tersebut, mereka juga berakar kebawah, mereka mempunyai pengikut. Tetapi, kebelakangan ini definisi posisional itu tidak lagi mencerminkan kepemimpinan Islam;  Sekarang ramai orang yang meduduki posisi penting melalui intrik-intrik politik dan bukan dilahirkan oleh massa organisasi. Mereka menjadi Pulau-Pulau Terapung dan tidak berkaitan dengan massa, kecuali dalam kempen pilihan raya saja.

Lalu apa pengaruh definisi-definisi diatas terhadap perilaku kita? Jika si Fulan kita anggap pemimpin Islam, kita akan menghormatinya dan memuliakannya, serta menghargai kebijaksanaan-kebijaksanaannya. Tetapi, jika ia kita anggap sebagai pemimpin yang merusak Islam, kita akan mencaci-makinya dan memusuhinya, serta membangkang segala kebijaksananannya.

Kelemahan Umat Islam yang terbesar adalah tidak adanya pemimpin yang diakui oleh semua pihak. Masing-masing kelompok mempunyai dan hanya mengakui pemimpin dari kelompoknya sendiri, sesuai dengan definisi yang dipegangnya. Padahal salah satu dari peranan pemimpin itu adalah menetapkan definisi situasi yang akan diikuti oleh semua pihak. Jika masalah pemimpin ini sudah disepakati, maka masalah Umat Islam dan syariat Islam diatas dapat diselesaikan.

JALAN KELUAR?

Kita tampaknya belum sepakat dalam mendefinisikan Umat Islam, Syariat Islam, dan Pemimpin Islam. Perbezaan definisi ini bukan saja menyebabkan perbezaan dalam strategi perjuangan, tetapi juga menimbulkan perilaku yang berlainan. Untuk mencapai kesamaan definisi secara total memang tidak mungkin, namun kita dapat mencari titik temu diantara definisi-definisi yang ada. Untuk itu kita memerlukan forum-forum yang mengkaji definisi dari pada berbagai kelompok dan merujukkannya kepada rujukan yang disetujui bersama, dan kemudian memasyarakatkannya, sehingga menjadi definisi yang dominan. Katakanlah misalnya definisi mat Islam, definisi intelektual yang kita ambil, kita akan sampai pada strategi yang sama ; pendidikan. Kita akan berfikir bahwa islamisasi mat Islam adalah langkah awal yang harus dilakukan sebelum bergerak kearah langkah-langkah yang bersifat struktural.

Ramai orang yang sering menganggap forum-forum itu sebagai perlombaan berbicara yang tidak bermanfaat, dan sering menuntut hal-hal yang bersifat operasional, mereka lupa bahwa revolusi konseptual jauh lebih besar pengaruhnya terhadap perubahan Umat dari pada revolusi fisik, -bahkan revolusi fisik tanpa revolusi konseptual sering hanya mengulangi kesalahan yang lama.

Tetapi yang paling penting ialah kesediaan semua pihak untuk mempersoalkan definisi situasi yang dimilikinya dan mengubahnya bila diperlukan. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum , sehingga kaum itu mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri (Q.S.13:11)
Wallahu alam !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar