PEUMULIA JAME ADAT GEUTANYO...RELA BERBAGI, IKHLAS MEMBERI...PEUMULIA JAME ADAT GEUTANYO...RELA BERBAGI, IKHLAS MEMBERI...PEUMULIA JAME ADAT GEUTANYO...RELA BERBAGI, IKHLAS MEMBERI...

Senin, 21 Maret 2011

METODOLOGI STUDI ISLAM

Teologi Islam tentang Agama-agama (Suatu Kajian Konsep Ad-Din dalam Al-Qur’an)

Pendahuluan
Teologi sebagai suatu disiplin ilmu yang membicarakan tentang “Tuhan” dalam tradisi keilmuan Islam terhitung sangat baru sekali. Ilmu ini dipopulerkan di Indonesia sejak Harun Nasution memasukkannya menjadi mata kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) sejak tahun 1975. Berbeda dengan ilmu Tauhid, yang hanya mengajarkan “cara bertuhan” atau “cara beriman” menurut satu model atau satu aliran pemikiran saja, yang oleh seorang guru Tauhid saat itu di pandang sebagai “doktrin”, tetapi Teologi, mengajarkan “banyak cara menuju Tuhan”. Artinya dalam ilmu ini diajarkan berbagai aliran atau mazhab yang membicarakan “Tuhan” atau membicarakan bagaimana Tuhan berhubungan dengan manusia, menurut persepsi manusia. Dan tentu saja seorang guru yang mengajarkan ilmu ini harus menjadi “liberal” sekaligus “plural” dalam arti bahwa ia tidak dapat mengindoktrinasi bahwa aliran atau mazhab yang satu adalah “benar”, sementara aliran pemikiran atau mazhab yang lainnya adalah “salah”.
Teologi,[1] dalam tradisi keilmuan Islam di lingkungan IAIN dikenal dengan Ilmu Kalam. Ada alasan mengapa ilmu ini disebut sebagai Ilmu Kalam, antara lain karena di dalamnya “Tuhan” atau “keimanan kepada Tuhan” berada dalam “perbincangan atau pembicaraan” (kalam) dan ada pula karena dalam ilmu ini “kalam Tuhan” menjadi pembahasan. Akan tetapi terdapat pula kenyataan bahwa perbedaan pendapat dalam aliran-aliran kalam itu bukan hanya disebabkan oleh perbedaan pemahaman terhadap kalam Tuhan (al-Quran). Tetapi al-Quran memang dijadikan dasar ketika mereka berargumentasi (berpikir).[2]
Namun demikian perbedaan ilmu Kalam dengan ilmu Tafsir tentu terletak pada objek yang dikaji. Selain bahwa ilmu Kalam objek kajiannya adalah tentang “Tuhan”, hasil kajiannya pun merupakan “wacana” (kalam = perbincangan atau pembicaraan) saja, bukan merupakan ranah pengamalan.
Kembali kepada persoalan teologi yang sedang dikaitkan dengan perbincangan mengenai agama-agama dalam Islam, dimaksudkan adalah bagaimana pengertian agama dalam al-Quran yang dapat difahami dengan cara memahami istilah addîn. Selanjutnya bagaimana istilah itu dipakai untuk mengungkapkan fenomenologi keberagamaan manusia. Sudah tentu kajian ini masih bersifat sangat sederhana dan merupakan pintu masuk untuk mendekatkan “keislaman” dengan “study agama-agama”.
Pengertian Agama
Definisi agama banyak sekali, puluhan atau lebih seratusan, begitu ungkap seorang dosen ketika saya kuliah di semester pertama pada jenjang strata satu dalam mata kuliah “Pengantar studi Agama” ketika itu, saya percaya saja dan bukan seorang mahasiswa yang penasaran lalu mencoba mengumpulkan defenisi yang dikatakan banyak itu. Saya hanya mengingat beberapa hal saja, antara lain: bahwa agama itu artinya “tidak kacau”. Agama juga dapat diartikan sebagai “peraturan”. Ada definisi agama yang sederhana semisal yang dikemukakan oleh E.B. Tylor: religion is a believe the spiritual beings, tetapi ada pula definisi agama yang sempurna, yang memestikan bahwa agama itu mempunyai kriteria seperti mempunyai kitab suci, ada rasulnya, ada ajaran yang jelas tentang keakhiratan dan seterusnya. Ketika itu saya belum tau bahwa definisi agama yang banyak itu membuktikan bahwa, selain sulit untuk memberikan sebuah definisi agar semua “agama” masuk di dalamnya, ternyata setiap definisi juga dibuat agar sesuai dengan kepentingan “untuk melakukan apa dengan definisi itu”.
Seorang agamawan misalnya, ketika  memberikan definisi agama, muatannya selalu saja bersifat teologis dan normatif. Sebaliknya seorang antropolog dan sosiolog umpamanya, ketika memberikan definisi agama, tentulah diarahkan kepada hal-hal yang bersifat sosio historis dan fenomenologis. Karena bersifat teologis dan normatif seorang agamawan selalu membuat definisi yang lengkap dan sempurna, sehingga kalau mungkin hanya “agama” yang dianutnya saja yang termasuk dalam kategori definisi itu. Sudah tentu defenisinya menjadi eksklusif. Sebaliknya para sosiolog dan antropolog, karena mereka seorang ilmuan dan peneliti yang umumnya identitas agama mereka tidak nampak, mereka membuat definisi yang praktis sejalan dengan bidang ilmu yang mereka tekuni tetapi lazimnya akan membuat defenisi yang sederhana dalam arti inklusif agar semua “agama” termasuk dalam defenisinya.
Kepentingan memberikan batasan pengertian atau definisi terhadap agama itu bukan hanya terbatas bagi kelompok ilmuan dan agamawan saja, tetapi juga bagi sebuah negara. Negara sekuler akan memberikan definisi berbeda dengan negara agama, demikian juga dengan negara Indonesia yang mengaku bukan negara  sekuler dan bukan pula negara agama tetapi negara Pancasila. Dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, maka negara Indonesia menganut belief in one God.[3] Semua agama yang berada dalam wilayah negara Indonesia, tentu “yang diakui” eksistensinya yakni Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan Konghucu mesti menganut faham ketuhanan dan mesti pula “Tuhan” yang dipercayai itu adalah bersifat “Esa”. Padahal diantara agama-agama tadi ketika di daerah asalnya, atau di luar Indonesia ada yang tidak menganut kepercayaan akan adanya “Tuhan”, dan ada pula yang menganut kepercayaan “banyak Tuhan”. Dan di Indonesia setiap orang hanya boleh menganut satu agama saja diantara enam agama tadi, pada satu waktu. Beda halnya dengan di Jepang umpamanya, seseorang dapat saja mengatakan bahwa ia tidak menganut agama apapun, tetapi memperaktekkan tiga agama sekaligus. Seorang Kaisar di Jepang bukan seorang penganut suatu agama tetapi adalah “agama” itu sendiri. Fenomena lain terdapat di Amerika dan negara-negara sekuler lainnya, bahwa negara tidak mengatur masalah “agama” dan bahkan jumlah penduduk dari sudut pandang penganut “agama” tidak diketahui, tetapi ber”agama” tidak dilarang dan diberikan kebebasan, demikian juga untuk tidak ber”agama”, negara tidak campur tangan.
Teori-teori Agama
Sejak Max Muller (1823-1900) mengumandangkan pidatonya bahwa “agama” dapat dijadikan objek kajian ilmiah, maka teori-teori tentang agama pun bermunculan. Mulanya kajian dan penelitian terhadap agama bergulir begitu saja tanpa ditentukan teori apa yang digunakan, aspek-aspek apa dari agama itu yang menarik untuk didiskusikan. Namun beberapa hal kemudian yang terlihat menjadi pola dalam mengkaji suatu agama itu, antara lain: bahwa “agama” yang menjadi sasaran penelitian bukanlah aspek “dalam” nya, tetapi aspek “luar” nya, bukan keyakinan yang berada dalam pikiran dan perasaan manusia tetapi fenomena yang lahir akibat keyakinan itu. Berikutnya adalah bahwa seorang peneliti “agama” tadi mestilah menggunakan disiplin ilmu tertentu yang digunakan untuk melihat atau mendekati suatu “agama”. Misalnya Muller sendiri menggunakan pendekatan philology.
Teori-teori tentang agama telah mengungkapkan fenomena tentang asal mula manusia beragama, atau apa agama yang pertama di anut oleh manusia, atau bagaimana manusia mulanya beragama ?. Lalu bagaimana kelanjutannya sampai kini, adakah kaitan antara manusia yang mula-mula beragama dengan perkembangan fenomena keagamaan yang dianut manusia saat ini ? Teori-teori tentang agama memperlihatkan hal itu, misalkan apa yang direkam oleh Daniel L. Pals dalam bukunya berjudul Seven Theories of Religion (New York: Oxford University Press, 1996).
Membicarakan tentang teori agama yang mula-mula (primitif) sebenarnya merupakan suatu langkah maju dalam menguraikan persoalan yang menjadi topik utama mempersoalkan agama, yakni relasi atau hubungan antar manusia denngan wujud tertinggi. Sebab dalam agama, manusia mengalami adanya zat atau wujud tertinggi yang mengatasi manusia itu sendiri. Atau menurut martin Sardy : “berbicara tentang agama berarti mempermasalahkan kehidupan manusia yang eksistensial”.[4]
Selanjutnya Martin Sardy mengemukakan beberapa teori para ahli, mengapa manusia mencari relasi dengan wujud tertinggi, antara lain :
  1. Edward Burnet Tylor (1831-1917), menurutnya manusia berusaha mencari relasi dengan wujut tertinggi itu disebabkan adanya kesadaran tentang faham jiwa.
  2. Sir James George Frazer (1854-1941) yang merupakan tokoh terakhir aliran klasik dalam antropologi, ia berpendapat bahwa usaha manusia mencari relasi dengan wujud tertinggi itu disebabkan oleh adanya banyak gejala yang tidak dapat diterangkan oleh akal budi manusia.
  3. M. Crawley, dalam bukunya Tree of Life (1905) berpendapat bahwa manusia berusaha mencari relasi dengan wujud tertinggi disebabkan oleh adanya masa krisis dalam hidup setiap individu.
  4. R.R Marrett seorang antropologi berkebangsaan inggris dalam buku The threshold of Relegion (1909) menjelaskan bahwa manusia berusaha mencari relasi kepada wujud yang tertinggi itu, karena disadari oleh adanya kekuatan yang luar biasa, yang mengatasi kemampuan manusia.
  5. E.Durkheim, seorang sarjana ilmu filsafat dan sosiologi bangsa Prancis dalam bukunya Les Formes elementarias de la vie Religuse (19112) mengemukakan bahwa manusia berusaha mencari relasi kepada wujud yang tertinggi, karena adanya rasa sentimen kemasyarakatan.
  6. Peter Wilhem Schmidt SVD(1884-1912) menjelaskan bahwa manusia mencari relasi dengan wujud tertinggi itu disebabkan oleh adanya firman Tuhan.
Demikian beberapa teori yang dikutip oleh Martin Sardy dari buku Koentjaraningrat yang berjudul Beberapa pokok Antropologi Sosial untuk mendukung suatu jawaban dari pertanyaan tersebut diatas. Koentjaraningrat mengemukakan teori-teori tersebut dalam rangka membahas tentang asal-usul dan inti religi. Dan lebih jelas lagi terlihat dalam buku yang berjudul Ritus Peralihan di Indonesia.
Dalam buku tersebut Kurtajaningrat mengadakan pendekatan tentang asas dan asal mula religi yang dikelompokkan pada tiga golongan:
i.           Teori-teori yang pendekatannya berorientasi kepada keyakinan religi atau isi ajaran. Yang termasuk kelompok ini adalah teori E. B. Tylor, teori Andrew Lang, W. Schmidth, R.R Marrett dan teori A. C. Kruyt.
ii.         Teori-teori dalam pendekatannya berorientasi pada sikap penganut religi yang bersangkutan terhadap yang ghaib, misalnya teori yang dikemukakan oleh R. Otto.
iii.       Teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi ritus dan upacara religi. Contohnya teori yang ditawarkan oleh W.Robetson Smith, K.T. Preusz, J. Frazer, R. Hertz dan A Van Gennep.[5]
Kembali lagi kepada teori-teori agama yang dikemukakan Pals, ternyata sampai saat ini paling kurang ada tujuh teori yang relevan digunakan untuk mengkaji “agama” yakni teorinya E.B. Tylor dan J.G. Frazer tentang Animisme dan Magi, Sigmund freud tentang agama dan kepribadian, Emile Durkheim tentang masyarakat sebagai yang sakral, Karl Mark tentang agama sebagai alienasi, Mircea Eliade tentang realitas yang sakral, E.E. Evans Pritchard tentag construct of heart masyarakat, dan terakhir teori Clifford Geertz tentang agama sebagai sistem budaya.
Konsep Addîn Dalam Al-Quran
Buku teks tentang definisi agama dalam tradisi penulis-penulis muslim belum banyak (paling tidak belum saya temukan) memuat definisi agama menurut al-Quran. Salah satu buku yang memuat definisi atau pengertian agama menurut al-Quran adalah karya Moenawar Chalil dengan judul Definisi dan Sendi Agama. Di bawah judul “Kata Ad-dien Dalam Al-Quran”, beliau menganalisa bahwa kata addîn mempunyai arti lebih dari sepuluh macam, antara lain:
  1. yang berarti pembalasan (Q.S. 1: 3; 51: 6; 82: 17 )
  2. yang berarti ‘ibadah atau penyembahan (Q.S. 7: 29; 39: 2,3)
  3. yang berarti hukum atau undang-undang negara (Q.S. 12: 76)
  4. yang berarti millah atau agama (Q.S. 6: 156; 42: 13; 109: 6)
  5. yang berarti taat atau patuh (Q.S. 16: 52)
  6. dan lain sebagainya.[6]
Kata addîn dalam al-Quran terdapat 62 kali,[7] dengan dîn berbaris atas, bawah dan depan, baik yang menggunakan alif lam ma’rifah maupun yang tidak menggunakan alif lam ma’rifah. Dari sejumlah ayat-ayat yang memmuat kata addîn itu diklasifikasi secara sederhana misalnya dikelompokkan menjadi beberapa bagian dengan menggunakan rumus atau kata kunci antara lain مخلصين , يوم , الحق , الله , القيم , dan حنيفا .
Ketika kata addîn yang terkait dengan kata مخلصين , umpamanya dalam kalimat دعواالله مخلصين له الدين , menjelaskan fenomena psikologi manusia, bahwa ia akan meminta pertolongan kepada Tuhan manakala ia tidak berdaya lagi. Di saat manusia berhadapan dengan kekuatan alam yang dahsyat, maka manusia akan tulus memohon hadirnya Tuhan untuk menyelamatkan jiwanya.[8] Dalam konteks ini al-Quran seolah merespons teori agama primitif, bahwa manusia itu beragama diawali oleh adanya rasa takut dan cemas akibat kekuatan luar biasa sebagaimana yang diungkap oleh R.R. Marret. Tetapi dalam ayat-ayat yang lain dengan kata kunci yang sama istilah addîn terkait dengan sistem ritus yang jelas, dalam pengertian “beribadah” atau “menyembah” Allah.[9] Al-Quran menjelaskan bahwa “agama” dalam arti “relasi manusia dengan wujud tertinggi” dilakukan oleh manusia dalam dua kondisi, yang pertama ketika manusia merasa sendiri dalam ketakutan dan kecemasan akan kedahsyatan kekuatan yang berada di luar kemampuannya, dan yang kedua ketika manusia merasa sendiri dalam kemesraan bersama Tuhannya.
Al-Quran juga memberikan kriteria bahwa setiap “agama” mestilah mempunyai keyakinan akan adanya suatu “masa” atau suatu “keadaan” dimana manusia memperoleh “balasan” dari apa yang ia lakukan. Konsep tentang kebaikan dan kejahatan secara konsisten diikuti dengan konsep surga dan neraka. Inilah ciri penting dari semua agama. Tanpa kesadaran ini tentu agama akan menjadi tanpa tujuan. Pemahaman ini diperoleh dengan menggunakan kata kunci يوم .[10]
Kriteria “agama” dalam al-Quran dengan menggunakan kata kunci الحق misal dalam kalimat    الحق دين و memberikan pengertian akan adanya Utusan Tuhan yang disebut “Rasul”.[11] Selanjutnya bila kata kunci الله digunakan maka “agama” yang dimaksud oleh al-Quran adalah agama yang bersifat institusi atau lembaga, sehingga manusia bisa masuk ke dalamnya.[12] Agama yang terlembaga ini mempunyai hukum-hukum yang jelas dan tegas tentang “moral” dan penegakan hukum baik sipil,[13] maupun militer.[14] Akan tetapi apa yang dimaksud dengan “Agama Allah” ternyata bukan hanya terkait dengan ketundukan terhadap hukum-hukum yang bersifat sosial tetapi juga ketundukan seluruh makhluk Tuhan baik yang ada di langit maupun di bumi.[15]
Fungsi agama sebagai alat untuk menciptakan perbaikan dan peradaban diungkap al-Quran dengan kata kunci القيم . Agama “yang lurus” adalah agama yang mampu membuat manusia tidak melakukan kerusakan, baik di darat maupun di laut. Dan manusia yang dapat menciptakan perbaikan dan peradaban adalah mereka yang secara tulus berorientasi kepada “kesatuan” dan “keharmonisan” (tauhid), sebaliknya manusia yang selalu melakukan kerusakan dan perpecahan (musyrik) disebut sebagai tidak beragama (kafir).[16] Perang dalam konteks menciptakan “kedamaian” melawan orang yang suka menciptakan perpecahan, sungguh memang dianjurkan,[17] bahkan dalam situasi dan kondisi tertentu merupakan kemestian.[18] Agama “yang lurus” bukan bukanlah penyembah “Tuhan” dalam bentuk “nama-nama” yang dibuat oleh manusia  sendiri.[19] Agama yang lurus adalah agama yang cocok dengan fitrah manusia dan mengangkat harkat kemanusiaan-manusia, yakni agama yang difahami bukan hanya melalui nurani yang paling dalam dan bening, tetapi diiringi dengan pengetahuan yang cerdas serta diikuti dengan kesadaran untuk bersih dari segala dosa dan kesalahan serta penuh harapan akan anugerah Tuhan, kemudian ditambah lagi dengan senantiasa berkomunikasi kepada Tuhan.[20]
Kata kunci حنيفا terkait juga dengan القيم terutama dalam Q.S. 30: 30. bahwa “agama yang lurus” itu menyerahkan seluruh jiwa dan ibadah hanya kepada wujud tertinggi, yang Esa dan tidak berbilang. Akan  tetapi dalam Q.S. 10: 105 mengisyaratkan bahwa ada dua hal yang penting dalam setiap agama, yang pertama adalah berupa sikap mental, yakni “keikhlasan dan ketulusan”, dan yang kedua adalah “persepsi” bahwa wujud yang maha Tinggi itu mampu memberikan manfaat atau bencana bagi kita dan seluruh alam semesta. Pemahaman yang terakhir ini menjadi indikator serius bahwa al-Quran mempertahankan konsep theisme dalam istilah filsafat ketuhanan.
Demikian konsep addîn difahami dengan cara menetapkan kata kunci tertentu, tetapi secara keseluruhan kata addîn juga telah difahami satu persatu untuk mendukung konsep apa yang dapat ditarik dari kata kunci itu. Secara umum al-Quran sesungguhnya telah memberikan batasan pengertian “agama”, baik secara sederhana misalnya bahwa agama itu adalah “pengakuan” tentang esensi Tuhan dan sekaligus eksistensinya. Esensinya diakui melalui “ungkapan” (syahadat), sedangkan eksistensinya diakui melalui ketaatan (ibadat).[21] Al-Quran juga memberikan kriteria agama secara ekslusif dengan memberikan ciri tentang adanya Rasul atau Nabi, adanya hari kebangkitan atau akhirat, serta pertanggujawaban manusia. Tetapi agama dalam pengertiannya yang tidak terikat pada lembaga atau institusi juga menjadi penekanan yang serius.
Dalam konteks institusi dan non institusi inilah kata “Islam” selalu menjadi wacana yang hangat dalam setiap diskusi tentang teologi agama-agama. Al-Quran surat Ali Imran ayat 19, 84 dan 85 adalah antara lain yang dijadikan dasar membicarakan diskursus itu.
Sebagai penghantar untuk mendiskusikan konsep al-Quran tentang agama-agama dalam dua diskursus tadi ada baiknya sedikit diulas tema berikut ini.
Agama Dalam Sejarah Manusia
Penganut agama samawi, yakni Yahudi, Nasrani dan Islam mempercayai bahkan mungkin telah menjadikan bagian dari sendi-sendi keyakinan yang utama, bahwa masyarakat manusia ini berasal dari nenek moyang yang satu yakni Adam. Umat Islam (sebahagian) menyebutnya sebagai “nabi”, yaitu “nabi Adam”, dimaksudkan adalah sebagai nabi yang pertama dalam rentang keyakinan bahwa ada paling kurang 25 orang nabi dan rasul yang dipercayai  mayoritas umat Islam. Kepercayaan tersebut didasarkan kepada ayat-ayat kitab suci al-Quran yang menyebutkan nama-nama dimaksudkan.[22] Menurut penelitian terhadap istilah nabi dan rasul dalam al-Quran, tidak didapati informasi bahwa ayat al-Quran mengatakan bahwa Adam adalah seorang nabi atau seorang Rasul. Demikian pula ketika meneliti istilah Adam dalam al-Quran tidak juga diinformasikan bahwa Adam adalah seorang nabi atau seorang rasul.[23] Kerenanya kenabian dan kerasulan Adam dalam Islam adalah merupakan pemahaman belaka, atau merupakan tafsir terhadap ayat-ayat kitab suci al-Quran tentang Adam.[24] Al-Quran juga tidak menjelaskan tentang apakah Adam manusia pertama atau bukan manusia yang pertama, sehingga hal ini merupakan bahan polimik diantara ilmuan muslim. Demikian juga  al-Quran tidak menjelaskan apakah Adam itu seorang “Bapa” atau “laki-laki” sehingga pasangannya adalah seorang “Ibu” atau “wanita”. Istilah “Hawa” sebagai pasangan atau “istri” Adam tidak pula didapati dalam ayat al-Quran. Namun demikian umat Islam sangat toleransi dalam berbagai pendapat dan interpretasi mengenai hal itu. Misalnya ada yang berpendapat bahwa Adam dan Hawa (dalam tradisi Kristen disebut Eva) bukan manusia pertama, dan tidak berada di surga tetapi di bumi ini. Belakangan ada juga didengar informasi bahwa ada yang berpendapat bahwa Adam itu bukan sebutan untuk “seorang laki-laki”, tetapi “seorang perempuan”. Demikian seterusnya para pemikir muslim berkelana dengan pendapatnya, termasuk soal apa “agama” nenek moyang kita itu. Yahudikah?, Nasrani atau Kristenkah?, Islamkah?, Hindukah?, Budhakah? Agama Kepercayaankah?
Bagi mayoritas masyarakat muslim yang mempercayai bahwa Adam adalah “nabi” dan “rasul” yang pertama, dan Muhammad bin Abdullah adalah “nabi” dan “rasul” terakhir, mereka berpendapat bahkan meyakini bahwa “agama” nabi Adam tentulah “Islam”.  Mereka berkeyakinan bahwa dari sejak nabi Adam sampai nabi Muhammad sama “agama”nya yaitu Islam. Pengertian “Islam” dimaksudkan adalah “tauhid”. Pernyataan bahwa “agama” manusia adalah “sama” dalam masyarakat muslim difahami bahwa sama-sama men”tauhid”kan Allah. Akan tetapi ada yang aneh dengan keyakinan mayoritas masyarakat muslim itu, yakni mengapa belakangan terkesan bahwa pengertian “Islam” hanya untuk agama nabi Muhammad saja. Selintas diteliti bahwa al-Quran menyebut agama Ibrahim dan Ya’cub besereta keturunannya adalah Islam (Q.S. al-Baqarah: 132), agama nabi Yusuf adalah Islam (Q.S. Yusuf: 101),  dan lagi pula istilah “Islam” dalam al-Quran muatannya adalah “nilai” bukan “institusi” atau “lembaga”.[25] Hal ini difahami mengingat kata “Islam” dengan derivasinya tidak pernah disebut sebanding dengan kata Yahudi dan Nasrani sebagai sebuah institusi (agama yang terlembaga). Ketika al-Quran menyebut Yahudi dan Nasrani, juga Shobiin, digunakan istilah allazîna âmanû (orang-orang yang beriman) misalnya dalam Surat al-Baqarah ayat 62:
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ(62)
Dalam ayat tersebut di atas al-Quran menyebut allazîna âmanû (orang-orang yang beriman) kepada  pengikut nabi Muhammad, untuk membedakannya dengan penganut Yahudi, Nasrani maupun penganut agama “non-samawi” (shôbiîn).Jadi sebutan “Islam” dalam surat Ali ‘Imran ayat 19:[26]Inna al-dîna ‘inda Allahi al-Islâm (agama yang diterima oleh Tuhan hanyalah Islam)” bukanlah hanya untuk agama yang dibawa nabi Muhammad saja, tetapi agama yang dibawa oleh semua utusan-Nya. Akan tetapi mayoritas umat Islam memahami ayat “Inna al-dîna ‘inda Allahi al-Islâm (agama yang diterima oleh Tuhan hanyalah Islam)” dengan tanpa menerjemahkan kata Islam kedalam bahasa Indonesia (bagi muslim Indonesia) sehingga melekatlah faham eksklusifitas di kalangan mayoritas umat.
Kembali kepada agama nenek moyang kita, bahwa Adam dalam al-Quran diceritakan sebagai makhluk Tuhan yang langsung memperoleh bimbingan, ilmu dan petunjuk dari Allah. Malah hubungannya dengan Tuhan demikian dekat, Allah memberi ilmu kepada Adam tentang “nama-nama” sesuatu, yang karenanya ia dihormati dan dilebihkan dari para malaikat sekalipun (al-Baqarah ayat 31). Oleh Allah, Adam dibebani peraturan dan undang-undang (al-Baqarah ayat 35); Adam melanggar peraturan  karena lupa dan lalai serta tidak mempunyai kemauan yang kuat untuk melaksanakan peraturan itu (Thaha ayat 115), kiranya kelanggengan merasakan nikmat hidup dan harapan akan kekuasaan, membuat Adam tak kuat dan akhirnya terpedaya oleh “rayuan setan” (Thaha ayat 20), akhirnya iapun “durhaka” kepada Allah yang menciptakannya, karena melanggar peraturan dan rambu-rambu Tuhan (Thaha ayat 121). Namun al-Quran menceritakan bahwa Adam pun bertobat, lalu  Allah menerima tobat Adam (al-Baqarah ayat 37).
Dari kisah di atas, difahami bahwa sesederhana apapun, Adam telah mempunyai “agama”, karena beliau sadar betul bahwa ada Tuhan yang menciptakannya, ada komitmen untuk melaksanakan peraturan dan undang-undang Tuhan, ada pelanggaran terhadap peraturan akibat kelalaian, ada klaim “durhaka”, tetapi ada juga konsep “pertobatan”. Hal ini memang menjadi kemestian bagi semua “agama” yang dianut oleh anak cucu Adam sampai hari ini, baik ia Yahudi, Nasrani, Islam, maupun agama non-samawi (shôbiîn), yakni Hindu, Buddha, dan lain sebagainya.
Penutup
Agama dengan ungkapan addîn dalam al-Quran bukan hanya mengungkapkan aspek teologis normatif yang tidak dapat diungkap dengan perasaan, tetapi lebih dari itu, bahwa agama itu dapat menampak dalam wujud ekspresi, sikap, ketaatan, kepatuhan sosial, dan keharmonisan alam, tetapi manusia sebagai makhluk religius merupakan pusat pembicaraan.
Dalam konteks ini al-Quran sebagai sumber suci dalam bentuk teks bagi agama Islam (dalam bentuk institusi) dapat pula memberikan sesuatu bagi teori-teori agama yang ada, sehingga umat Islam terdorong untuk meneliti dan memahami agama-agama lain dengan pendekatan teori-teori agama yang ada, sekaligus menjadikan al-Quran sebagai konfirmasi kalau bukan informasi. Karena dengan pendekatan teori-teori agama itulah pemahaman kita dapat terbebas dari ekslusifisme. Allahu a’lam.

[1] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Teologi adalah ilmu yang membicarakan Tuhan atau pengetahuan ketuhanan. Theologia yang berasal dari bahasa Latin dan bahasa Grik Tua, terdiri dari dua kata theo dan logia. Theo (theos jamaknya) dalam mitologi Roma maupun mitologi Grik Tua adalah pamnggilan bagi Dewata dan para Dewa. Selanjutnya kata Theos itu dalam ajaran setiap agama adalah panggilan untuk kodrat-kodrat samawi yang berada di bawah kekuasaan Tuhan, dan setiap agama mempunyai panggilan-panggilan tersendiri terhadap kodrat-kodrat samawi itu misalnya “malaikat” (agama Islam), “angelos” (agama Kristen), “mallak” (agama Yahudi), “ahuras” (agama Zarathusra), “daivas” (agama Hindu), dan “boddhisatvas” (agama Buddha) dan seterusnya.  Kata logia yang dalam bahasa Grik Tua berasal dari kata logos (akal) berarti ajaran pokok (doctrin) atau teori (theory) atau ilmu (science).
[2] Contohnya, ketika Khawarij mengkafirkan Ali dan Mu’awiyah karena keduanya tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah, la hukma illa lillah. (faman lam yahkum bima anzalallah faulâika humul kâfirûn), dan lain sebagainya.
[3] John R. Bowen, Religions in Practice: An Approach to the Antropology of Religion, (Boston: t.p., t.t), p. 25.
[4] Martin Sardy, agama Multidimensional, (Bandung: Alumni, 1983), h.80.
[5] Koentjaraningrat, Ritus Peralihan di Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h..12
[6] Moenawar Chalil, Definisi dan Sendi Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 14-15.
[7] Ali Audah, Konkordansi Qur’an, (Jakarta: PT. Pusaka Litera AntarNusa, 1991), h. 193.
[8] Q.S. 10: 22; 29: 65; 31: 32.
[9] Q.S. 39: 2, 11; 40: 14, 65; 98: 5; 7: 29.
[10] Q.S. 1: 4; 15: 35; 26: 82; 37: 20; 51: 12; 82: 15; dan lain sebagainya.
[11] Q.S. 9: 33; 48: 28; 61: 9; 9: 29.
[12] Q.S. 110: 2.
[13] Q.S. 24: 2-10.
[14] Q.S. 2: 193; 8: 39.
[15] Q.S. 3: 83.
[16] Q.S. 30: 41-44.
[17] Q.S. 9: 36.
[18] Q.S. 9: 38-39.
[19] Q.S. 12: 40.
[20] Q.S. 30: 30-31.
[21] Q.S. 109: 1-6.
[22] Adapun nama 25 orang nabi dan Rasul  tersebut secara berurut adalah: Adam, …..Muhammad Saw. Mayoritas umat Islam mempercayai bahwa nabi Muhammad adalah nabi dan Rasul terakhir tiada nabi dan Rasul sesudahnya. Akan tetapi mengenai jumlah nama-nama nabi dan rasul dalam al-Quran sebagaimana diyakini oleh umat Islam pada umumnya itu, belumlah  Penulis teliti.
[23] Dalam 10 surat dan 28 ayat terdapat lebih kurang 31 istilah Adam dalam al-Quran. Secara tekstual tidak didapati uangkapan bahwa Adam adalah nabi atau rasul. Tetapi dikatakan bahwa ia dipilih Tuhan, sama halnya Tuhan memilih (memuliakan) Nuh, Keluarga Ibrahin dan Keluarga ‘Imran (Ali  ‘Imran ayat 33).
[24] Ditegaskan dalam al-Quran bahwa sebahagian nabi-nabi berasal dari keturunan Adam, keturunan Ibrahim, dan keturunan Israil. (Maryam ayat 58).
[25] Istilah “Islam” dalam al-Quran muatannya adalah “nilai” yang membentengi diri dari karya syetan (Q.S. al-Baqarah: 208), dipertentangkan dengan “keingkaran” terhadap ayat-ayat Tuhan yang terkait dengan kemusyrikan(Q.S. Ali ‘Imran: 19, 85), juga “Islam” dimuati nilai ketulusan dan ketaatan serta ketaqwaan (Q.S. Ali ‘Imran: 20, 102), dipertentangkan dengan “kefasikan” (pendosa) (Q.S. al-Maidah: 3), didalamnya terdapat nilai yang membuat dada terasa lapang (keihlasan, kebahagiaan dan kedamaian), ia adalah “hidayah” Tuhan (al-An’am 125), ia merupakan pengakuan (perkataan) yang tidak menyakiti siapapun (al-Taubah: 74),ia merupakan  jendela hati untuk menerima “cahaya” Tuhan dan berzikir kepadaNya sehingga dipertentangkan dengan “kesesatan” (al-Zumar: 22), selanjutnya dipertentangkan dengan kedustaan dan kezaliman (ash-Shaf: 7).
[26] Demikian juga pada ayat 85: وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ(85) (Bagi sesiapa yang  beragama selain Islam, maka tidak diterima oleh Tuhan dan merugilah ia diakhirat kelak). Bila kata “Islam” dalam ayat ini difahami hanya untuk agama (dan umat)  Muhammad saja, maka tak dapat dipungkiri faham ekslusifis dalam masyarakat Islam lahir dari dasar ini. Padahal dalam al-Quran istilah “Islam” serta derivasinya tidak pernah dipakai secara khusus untuk menytebut umat (agama) nabi Muhammad Saw.

Dikutip dari: http://irwansyahfilosof.wordpress.com/2011/3/17/teologi-islam-tentang-agama-agama-suatu-kajian-konsep-ad-din-dalam-al-quran/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar